Pemetaan Partisipatif

JKPP berpartisipasi dalam XV World Forestry Congress 2022

Korea Selatan, 2-6 Mei 2022

World Forestry Congress atau Kongres Kehutanan Dunia, diadakan setiap 6 tahun sekali. Kongres pertama kali diadakan di Italia pada tahun 1926. Kongres ini sendiri merupakan forum untuk bertukar pandangan dan pengalaman pada setiap aspek hutan dan kehutanan, yang mana nantinya akan menghasilkan formula atau rumusan yang bisa diterapkan pada tingkat nasional, regional, dan bahkan secara global. Kongres ini juga menyediakan kesempatan untuk menghasilkan gambaran umum sektor kehutanan, dalam rangka melihat tren, menyesuaikan kebijakan, menciptakan kesadaran dalam membuat keputusan, dan pengaruh dari opini publik. Mengingat jumlah peserta yang tinggi (beberapa ribu di setiap konferensi), ini adalah forum yang berharga untuk memperkuat peran hutan secara umum serta dalam konteks isu-isu lingkungan, ekonomi dan sosial yang kritis dan dengan mempertimbangkan perkembangan global. agenda pembangunan berkelanjutan.

XV WFC 2021 menyediakan kesempatan penting untuk komunitas kehutanan global untuk mempertimbangkan status dan masa depan dari kehutanan dunia, secara khusus dalam konteks pemulihan dari pandemi covid19 sembari berjuang untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs). Kongres ini juga akan menampilkan bagaimana peran kehutanan dalam Global Sustainable Development Agenda, yang terdiri dari The 2030 Agenda for Sustainable Development, The Global Forest Goals (GFG), The Paris Agreement on Climate Change, The UN Decade on Ecosystem Restoration, and The Post-2020 Global Biodiversity Framework, dan ini akan mengidentifikasi langkah-langkah dan rekomendasi untuk meningkatkan peran dari Kehutanan. 

Kongres ini bertemakan Building a Green, Healthy and Resilient Future with Forests”, dibagi menjadi 6 sub-tema dari berbagai isu untuk memastikan bahwa hutan adalah bagian penting dari Sustainable Development karena hutan mempunyai peran dalam kesehatan, kesejahteraan, stabilitas dari planet kita beserta manusianya. 6 tema ini adalah isu-isu yang paling penting terkait hutan dan produk serta jasa yang disediakannya. Sub-tema ini juga bisa meninjau kemajuan dalam penerapan hasil kongres yang sebelumnya sudah diadakan. Terutama dalam The Durban Declaration, dan kemajuan yang dibuat menuju masa depan yang tangguh dan berkelanjutan.  

  • Subtema-1.Mengubah arus: membalikkan deforestasi dan degradasi hutan
  • Subtema-2.Solusi berbasis alam untuk adaptasi perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati
  • Subtema-3.Jalur hijau menuju pertumbuhan dan keberlanjutan 
  • Subtema-4.Hutan dan kesehatan manusia: meninjau kembali koneksi
  • Subtema-5.Mengelola dan mengkomunikasikan informasi, data dan pengetahuan hutan
  • Subtema-6.Hutan tanpa batas: Meningkatkan pengelolaan dan kerjasama

Setiap subtema akan diisi dengan side event. Side event menyediakan kesempatan untuk berbagi keahlian, praktik-praktik terbaik dan inovasi, serta untuk meningkatkan peluang dialog dan pertukaran di antara peserta Kongres tentang tema dan subtema Kongres. Acara ini terbuka untuk semua peserta yang tertarik yang terdaftar untuk Kongres.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif / JKPP, diwakilkan oleh Dewi Sutejo, berkesempatan untuk menjadi pembicara di side event subtema 2, yang berjudul COMMUNITIES SPEAK : Indigenous Peoples’ Local Actions and Initiatives are vital to implementing Paris Agreement and the Post-2020 Global Biodiversity Framework. Side event ini membicarakan lebih banyak terhadap cerita-cerita atau pengalaman dari komunitas adat/lokal terkait perjuangannya melawan krisis iklim dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, serta mendiskusikan tantangan dan kesenjangan dalam rencana aksi iklim dan keanekaragaman hayati nasional, dan kemudian menyajikan rekomendasi utama terkait The Post-2020 Global Biodiversity Framework dan implementasi dari The Paris Agreement. JKPP hadir bersama dengan Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development (AFA), Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP), dan the Non-Timber Forest Products – Exchange Programme (NTFP-EP), mitra Konsorsium ICCA Asia Tenggara, serta Center for Indigenous Peoples’ Research & Development (CIPRED) yang mengikuti secara virtual. 

 

Berikut beberapa kutipan dari setiap pembicara :

 

  • Pasang Dolma Sherpa, Direktur Eksekutif Center for Indigenous Peoples’ Research & Development (CIPRED)

 

“Masyarakat adat mewakili 6,2 persen dari populasi dunia dan melindungi 80 persen dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan setidaknya seperempat dari luas daratan global. Memasukkan pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal dapat berkontribusi untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, ketahanan pangan, konservasi keanekaragaman hayati, dan memerangi deforestasi hutan dan degradasi lahan. Mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya untuk memastikan tercapainya tujuan hidup harmonis bersama alam.“

 

  • Kittisak Rattanakrajangsri, Ketua the Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP)

 

“Kebijakan perubahan iklim secara eksklusif gagal mengatasi ketidakamanan tenurial yang disebabkan oleh kurangnya pengakuan hukum atas hak tanah adat dan ancaman terkait mata pencaharian tradisional yang dihadapi oleh Masyarakat Adat. Kebijakan tersebut bahkan berkontribusi pada kriminalisasi praktik tradisional yang berkelanjutan dengan mendefinisikannya sebagai pelaku deforestasi.”

 

  • Dewi Sutejo, Wakil Koordinator Nasional  Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)/Indonesia Community Mapping Networks, Anggota Dewan Konsorsium ICCA Asia Tenggara

 

“Target Perlindungan Spasial-  30×30, dapat berdampak besar pada masyarakat adat dan lokal, sementara ada kesenjangan yang besar antara komitmen global dengan implementasi nasional. Target 30×30 terlalu ambisius dan tidak akan tercapai tanpa pengakuan masyarakat adat dan lokal dalam kontribusinya menjaga hutan. Pendekatan berbasis hak asasi berarti kebijakan konservasi  berarti tidak ada kekerasan dan mengakui masyarakat adat dan lokal dalam kontribusinya menjaga hutan.”

 

  • Giovanni Soliman Reyes, Presiden Konsorsium ICCA Filipina

 

“Tidak ada masa depan untuk hutan masa depan dunia tanpa keberadaan masyarakat adat penjaga mereka. Kontribusi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLC) dalam melestarikan 80% kawasan keanekaragaman hayati dunia tidak ada bandingannya. Memastikan pendekatan berbasis hak untuk mengarusutamakan kehutanan dan mencegah perusakan hutan. IPLC adalah garda terdepan dalam membela hutan. 

Kedekatan IPLC dengan alam harus diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu siklus seperti “Kehidupan” itu sendiri. Memotong siklus ini berarti “Kematian” hutan dan penjaga hutan yang mengakibatkan pengungsi perubahan iklim besar-besaran di seluruh dunia.”

 

  • Noraeri Thungmueangthong, Kepala Desa Huay Ee Khang

 

“Kami memiliki pengetahuan dari ibu kami yang diturunkan dari generasi ke generasi. Perempuan memegang pengetahuan tradisional. Kedaulatan pangan ada jika kita adalah pemilik benih kita. Perempuan memainkan peran penting dalam melindungi benih ini.”

Hutan adalah Hidup Kami, disini kami mendapatkan semuanya. Perempuan adat tidak rentan, Kami adalah perempuan adat yang kreatif, adaptif, kuat! Hormati Hak kami dan pengetahuan Kami! Lets put the women in the Center. 

 

  • Conchita Calzado Presiden Kababaihang Dumagat ng Sierra Madre (K-Gat)

 

“Sebagai Masyarakat adat, kita tidak boleh terpisah dengan wilayah adat kita dan jauh dari lingkungan hidup kita karena disinilah lahir dan hidup kita. Kami harap hak atas wilayah adat kami akan diakui, terutama lagi atas rencana pengembangan secara berkelanjutan dan perlindungannya.”

“Salah satu tantangan besar dari perempuan adat adalah dari struktur politik adatnya itu sendiri. Perempuan memperjuangkan haknya karena mereka berpikir bahwa penting bagi mereka untuk didengar.” 

Sumber :

https://wfc2021korea.org/

https://twitter.com/ntfp_ep 

https://twitter.com/AIPPIKPA

 

  

 

    

 

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment