“Kawasan lindung ini tentu tidak boleh ada bangunan guna kelestarian sungai. Selain kawasan inti lindung sempadan sungai itu sendiri, di luar kawasan tersebut ada yang disebut dengan kawasan penyangga alam dan budaya dari kawasan lindung,” ujar Direktur Walhi Yogyakarta Halik Sandera kepada Tribun Jogja, Kamis(16/10/2014).
Kawasan penyangga itu kata Halik juga menjadi pelindung dari kawasan lindung, sehingga untuk pemanfaatannya juga terbatas, supaya tidak merusak kawasan lindung itu. Kawasan inti lindung dan penyangga itu diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-undang katanya ini harus menjadi tuntunan dan acuan pemerintah daerah dalam mengelola tata ruang di daerahnya. Hal ini perlu diperhatikan pemerintah dengan mengeluarkan dokumen yang jelas mengenai pemanfaatan dari kawasan penyangga yang menyelimuti kawasan lindung atau sempadan sungai.
Namun lanjutnya saat ini belum ada dokumen resmi yang perlu diketahui oleh publik tentang kawasan tersebut. Hal ini perlu diterangkan dan dipublikasi, supaya masyarakat lebih jelas bangunan apa saja yang boleh didirikan di kawasan penyangga.
“Sebagai contohnya, bangunan besar seperti hotel apakah boleh untuk didirikan di kawasan tersebut. Di sisi lain, di kawasan lindung dan penyangga, yang di dalamnya termasuk sempadan sungai saat ini juga dipadati permukiman warga. Lokasi itu menjadi alternatif tempat tinggal masyarakat, karena belum ada keadilan tentang kepemilikan lahan bagi masyarakat, sehingga mereka dengan terpaksa tinggal di lokasi tersebut,” ujarnya.
Masyarakat yang tinggal di pinggir sungai lanjut Halik pasti akan lebih memilih lokasi yang lebih layak daripada di kawasan itu jika mereka mendaparkan pilihan.
“Meskipun dikatakan mereka melanggar peraturan pemerintah dan tata ruang, namun mereka belum mendapatkan keadilan untuk mendapatkan tempat yang lebih layak,” ujarnya. (Obed Doni Ardianto)