Pemetaan Partisipatif

Ketika Petani Menanti Godot

REFORMASI hak atas tanah adalah harga mati! Ketika 80 persen rakyat Indonesia terpuruk di sektor agraris, kebijakan penguasa malah berpihak kepada modal dan industri milik segelintir konglomerat yang membebani keuangan negara. Pemiskinan masyarakat agraris akibat kebijakan yang timpang ini harus dibenahi melalui kemauan politik untuk mengembalikan tata guna, tata kuasa tanah, dan tata produksi kepada petani dan pekebun gurem.

MENCUATNYA pengaplingan, pendudukan kembali, dan penjarahan lahan pertanian, kebun, serta hutan bermula dari kebangkrutan industri Orde Baru dalam krisis moneter yang berlanjut pada kekisruhan politik 1997-1998. Menara Babel arogansi kebijakan “revolusi industri” pemerintah yang dibangun dengan utang luar negeri mahabesar, akhirnya tumbang karena korupsi birokrasi serta pembusukan sistem kenegaraan.

Alhasil Indonesia pun kembali menjadi pengimpor bahan pangan, seperti jagung dan kedelai yang sebetulnya bisa dibudidayakan di Indonesia. Saat yang sama sektor industri macet atau sekarat sehingga penganggur membeludak.

Masyarakat pedesaan yang sempat bekerja di sektor off farm di perkotaan memilih kembali ke desa setelah roda industri urban berhenti meski tanpa modal lahan memadai untuk bertani. Terjadilah pengaplingan lahan secara masif dalam gerakan klaim balik (reclaiming) yang kerap berujung konflik.

Aksi ini terjadi karena kebuntuan pelaksanaan reformasi hak atas tanah oleh pemerintah tersendat-sendat. Malahan Orde Baru memotong keberadaan reformasi hak atas tanah dengan kebijakan industrialisasai. Bahkan, sektor agraria menjadi lahan bisnis konglomerat kroni penguasa.

Pengalaman sejarah membuktikan pernyataan itu. Di kawasan Garut-Tasikmalaya terjadi pertambahan penduduk yang berlipat ganda dari 250.000 di tahun 1927 menjadi 4 juta jiwa dewasa ini. Kenaikan 16 kali lipat ini menunjukkan ketimpangan penguasaan lahan. Pada kurun waktu yang sama hanya di wilayah pertanian perkebunan terjadi perubahan tata guna dan penguasaan tanah sebesar 12 persen!

Celakanya, tanah pun kerap dijadikan sarana mobilisasi politik selama Orde Baru. Sebutlah penggunaan dana reboisasi yang digunakan untuk mobilisasi kekuasaan. Demikian pula di sektor perkebunan.

Terjadilah perubahan mendasar orientasi pemanfaatan tanah dari Orde Lama (yang berpandangan lahan memiliki fungsi sosial sebagai alat kesejahteraan masyarakat) menjadi kebijakan industrialisasi pasca G-30S. Tiga rezim telah berkuasa setelah Soeharto, tetapi persoalan klaim balik tanah belum digarap serius!

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pun mandul karena tidak dapat dijabarkan secara konsisten dan konsekuen sehubungan dengan reformasi hak atas tanah bagi masyarakat agraris. Keadaan ini diperburuk keberadaan undang-undang sektor kehutanan dan perkebunan serta perundangan terkait yang justru bertentangan dengan UUPA. Mungkinkah ini disebabkan petani-pekebun tidak memiliki modal dan akses politik terhadap penguasa atau pun legislatif?

REFORMASI hak atas tanah tidak dapat dibatasi oleh bukti kepemilikan atau tata guna dan penguasaan tanah semata, tetapi harus berangkat dari kebijakan pemerintahan demokratis yang berorientasi pemerataan. Keberpihakan kepada petani-pekebun yang terpinggirkan tidak bisa diganjal dengan dalih membiarkan pasar bebas dan mekanisme pasar berlaku. Ingatlah, negara besar sekalipun, seperti Jepang dan Amerika Serikat, melindungi pasar pertanian domestik yang jadi tumpuan hidup petani-pekebun kecil.

Terlebih lagi, pola penguasaan lahan kebun dan hutan di Indonesia merupakan warisan penjajah yang diserap secara mentah oleh pemerintah sampai hari ini. Penguasa 70 persen lahan daratan Indonesia, yakni Departemen Kehutanan, melalui pihak Perhutani, pun beroperasi di atas lahan berdasar peta tahun 1933 yang didasari tata ruang dan peruntukan buatan penjajah kurun waktu 1870-1927.

Tata ruang ini tidak dibangun untuk mengatur tata guna tanah, tetapi demi kepentingan tanam paksa untuk menyuplai kebutuhan pasar komoditas ke Eropa oleh penjajah Belanda.

Hal serupa terjadi pada beroperasinya sektor perkebunan. Hasilnya, pelaksana perkebunan dan kehutanan menjalankan kegiatan usaha dengan acuan keberhasilan kerja mereka: tak boleh sejengkal tanah pun dirambah. Sebaliknya, rakyat petani-pekebun tidak mau tahu dengan persoalan yuridis kepemilikan lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Dampaknya, klaim balik pun menjadi gejala umum dalam kondisi mutakhir sebagai upaya menciptakan ruang negosiasi bagi rakyat yang selama ini tidak diakui. Persoalan ini bukan sekadar menguasai lahan untuk penghidupan, melainkan karena manusia membutuhkan pengakuan-pengakuan sosial dengan pekerjaan dan penghidupan yang jelas. Ini adalah satu aspek terpenting dalam penguasaan tanah.

Klaim balik dan reformasi hak atas tanah sesungguhnya selaras dengan keberadaan hak asasi manusia dalam ihwal hak ekonomi. Ini disebut secara eksplisit sebagai hak sosial ekonomi yang merupakan pengakuan hak atas penguasaan sumber daya alam. Namun, hak ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga hanya sedikit terucap secara implisit dalam amandemen kedua dan Undang-Undang 39 Tahun 1999.

Sudah jelas pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak seimbang serta merata menjadi dasar konflik pertanahan. Apalagi penggunaan tanah pertanian dan nonpertanian selama ini tidak merata.

Pihak penguasa melihat penguasaan tanah berdasar pemilikan de jure, sebaliknya masyarakat petani-pekebun kecil memandang kepemilikan secara de facto sebagai dasar klaim. Kebijakan reformasi hak atas tanah yang pernah dilakukan pun berjalan setengah hati sehingga konflik tak terhindarkan.

Statistik menunjukkan semasa 1960-2002 terjadi distribusi 885.000 hektar tanah bagi petani, tetapi tidak lebih dari 2 persen total luas tanah pertanian. Tanah seluas itu dibagikan kepada 1,3 juta jiwa keluarga petani yang hanya tujuh persen dari total jumlah rumah tangga di sektor pertanian.

Rata-rata yang diredistribusi mencapai 25.000 bidang tanah per tahun. Bandingkan dengan penggundulan hutan dalam industri kayu yang mencapai luas enam kali lapangan bola per menit!

Dari jumlah itu, baru 52 persen tanah obyek reformasi hak atas tanah yang diredistribusi. Sisanya masih ada 48 persen tanah yang belum didistribusi kepada petani melarat.

Tentu redistribusi tanah petani sangatlah minim dibandingkan pembabatan hutan yang menyerap tenaga kerja lebih sedikit dibandingkan dengan sektor pertanian. Jelas keberpihakan kepada petani yang terpinggirkan belum tampak dalam pelaksanaan redistribusi lahan yang memunculkan klaim balik tanah sebagai jawaban dari rakyat kecil.

Mengharapkan penyelesaian hukum merupakan impian kosong bagi petani karena pendekatan pembuktian yuridis formal selalu mengalahkan rasa keadilan di lembaga peradilan Indonesia. Terlebih karena hukum adalah produk sistem politik di suatu negara yang merefleksikan paradigma kekuasaan yang dibangun.

APAKAH klaim balik dibiarkan berlanjut, sementara reformasi hak atas tanah belum digarap serius? Gejala yang terjadi menunjukkan klaim balik terus berlangsung, sementara kebijakan pelaksanaan reformasi hak atas tanah belum ditanggapi pemerintah secara serius sebagai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak persoalan klaim balik tanah.

Gambaran ketidakseriusan pemerintah terwakili sekurangnya dalam persiapan pidato tahunan presiden tahun lalu yang sudah mencantumkan pembahasan reformasi hak atas tanah ternyata sama sekali tidak disinggung oleh kepala negara. Entah catatan tentang reformasi hak atas tanah sengaja dihapuskan oleh pihak tertentu atau ada sebab lain tidak diketahui jelas.

Namun yang pasti, ada sejumlah hambatan menjalankan reformasi hak atas tanah karena dianggap proyek bagi-bagi tanah yang berbau kekiri-kirian, belum ada basis data obyek reformasi hak atas tanah yang komprehensif, dan terdapat ketidaksesuaian persepsi tentang reformasi hak atas tanah di kalangan sektor terkait. Muncul pula resistensi dari pihak yang tanahnya kemungkinan dijadikan obyek reformasi hak itu.

Menilik pengalaman sejumlah negara yang berhasil menjalankan reformasi hak atas tanah, seperti Brasil dan Taiwan, pelaksanaan kebijakan ini relatif lebih mudah karena tanah di Indonesia merupakan milik negara, bukan lahan partikelir. Di Brasil, pemerintah mengeluarkan dana yang besar untuk membeli lahan partikelir yang menjadi obyek reformasi hak atas tanah.

Contoh yang lebih ideal adalah Taiwan. Dengan industri pertanian yang diproteksi, mereka mampu mengikuti dinamika pasar sehingga petani dapat bertahan. Pengusaha besar bermain di sektor industri teknologi tinggi sehingga tidak mengganggu lahan hidup petani-pekebun.

Reform hak atas tanah dijalankan menyeluruh tidak sekadar mendistribusikan lahan pertanian, tetapi mencakup bantuan keuangan, kebijakan agrobisnis dengan menjamin akses pasar, dan konsistensi kebijakan. Seluruh faktor sosial, ekonomi, ekologi, dan yang berkelanjutan terkait dalam industri pertanian didukung secara mutlak.

Dengan segala kekurangan, pemerintah saat ini dinilai oleh praktisi hukum dan kalangan LSM mulai memberi perhatian terhadap reformasi hak atas tanah, tetapi belum dalam wujud kongkret. Alasannya, menghadirkan instansi terkait untuk berunding merupakan perjuangan yang berat di sini!

Patut diingat, di negara industri maju, fondasi perekonomian bisa tumbuh mantap dan mandiri berawal dari pelaksanaan reformasi hak atas tanah seperti dilakukan Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.

Indonesia kini berada di persimpangan. Apakah reformasi hak atas tanah akan dilakukan atas inisiatif petani atau pemerintah? Sejumlah panitia telah dibentuk guna membahas hal itu, demikian halnya UUPA tengah disempurnakan termasuk peraturan di bidang kehutanan, perkebunan, pengairan, serta sektor terkait.

Perlu diingat, selama pemerintah masih berkiblat pada kepentingan modal besar untuk menggarap agroindustri tentu inisiatif akan datang dari petani. Praktis klaim balik terus berlanjut dan konflik tak kunjung berhenti.

Diharapkan, pemerintah mendatang dapat mengartikulasikan dan mengimplementasikan reformasi hak atas tanah secara serius karena mayoritas rakyat Indonesia dapat bertahan hidup dan mengakumulasikan modal jika sektor pertanian-perkebunan digarap serius. Apalagi kecenderungan kembali ke desa merupakan alternatif utama semasa krisis berkepanjangan sehingga dapat menyerap tenaga kerja.

Solusi terbaik tentunya melalui reformasi hak atas tanah yang menyeluruh. Jutaan petani Indonesia dalam keluguan tentu tidak mengenal lakon Menantikan Godot yang banyak bertaburan dalam perbincangan sastra dan teater di Jakarta dan kota besar, tetapi kini mereka sedang menunggu “Godot” bernama reformasi hak atas tanah yang entah kapan mewujud