Pernyataan Sikap Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Rapat Paripurna DPR RI Periode 2019-2020 telah menghasilkan kesepakatan diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja (“Omnibus Law”) oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini disepakati oleh 302 anggota dewan yang hadir, baik secara langsung maupun melalui media virtual. Pembahasan Omnibus Law dilanjutkan menanggapi Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja.
Sikap DPR di atas memberi sinyal bahwa parlemen dan pemerintah tidak memiliki kepekaan atas permasalahan ekonomi dan sosial, bahkan atas situasi darurat kesehatan yang tengah dialami rakyat saat ini. Dengan memaksakan melanjutkan Omnibus Law pada masa darurat seperti sekarang ini, di saat kebijakan pyshical distancing berlaku, telah meresahkan rakyat. Keputusan ini mencederai semangat demokrasi, karena DPR dengan sengaja akan membatasi partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Sudah pasti publik tak bisa dengan efektif dan optimal memberikan masukan, mengawal substansi hingga terlibat dalam proses konsultasi di tengah situasi darurat saat ini.
Perlu dicatat, RUU Cipta Kerja telah banyak menuai penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya merugikan buruh, namun juga petani, nelayan, dan masyarakat adat akibat memasukkan pasal-pasal dan kebijakan agraria secara serampang ke dalam RUU tersebut. Bahkan beberapa RUU yang telah ditolak publik September 2019 lalu, seperti RUU Pertanahan, RKHUP, RUU Minerba dan beberapa RUU berbahaya lainnya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja.
Di bidang agraria, setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan pokok yang akan mengancaman keselamatan jutaan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di desa, yakni: Pertama, Omnibus Law akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia; Kedua, RUU akan mempermudah penggusuran dan perampasan tanah rakyat atas nama kepentingan pembangunan infrastruktur dan bisnis; Ketiga, RUU akan mempercepat arus konversi tanah pertanian demi kepentingan bisnis semata; Keempat, RUU memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat adat; Kelima, RUU ini anti-reforma agraria dan keadilan sosial dengan kehendak mengubah UUPA 1960 sehingga sudah pasti bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.
Di negeri agraris ini, jutaan petani, nelayan, dan masyarakat adat menggantungkan hidup mereka dari tanah dan sumber agraria lain di pedesaan, pesisir dan pelosok-pelosok negeri. Jika RUU ini disahkan, nasib dan keberlangsungan hidup mereka akan terancam. Tanah-tanah dan sumber penghidupan mereka akan semakin mudah diambil-alih oleh korporasi dan kelompok pemodal besar.
Menurut pandangan kami, DPR dan Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang tidak sesuai dengan situasi sosial hari ini. Pemaksaan RUU akan lahirkan keresahan di tengah publik. Masyarakat yang KECEWA dengan penanggulangan wabah, tekanan ekonomi, ancaman PHK, represi di wilayah konflik agraria akan bertemu dengan kekecewaan masyarakat kepada DPR karena bersikukuh tetap melanjutkan RUU anti rakyat ini. Apabila diabaikan, gejolak ini akan memaksa mobilisasi massa secara besar-besaran. Petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa, perempuan dan kelompok lainnya yang terancam dengan RUU ini seolah telah dipancing oleh Negara sendiri untuk melakukan mobilisasi. Situasi ini akan berdampak terhadap kebijakan dan usaha pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19 itu sendiri.
Ada banyak hal yang SEPATUTNYA dilakukan DPR dalam situasi krisis saat ini sebagai wujud tanggung jawab Konstitusi Negara, sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara kita dalam Pembukaan UUD, yakni melindungi segenap warga negara.
Maka SEPATUTNYA:
DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, karena kebijakan ini BUKANLAH jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil;
DPR awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini.
DPR sebaiknya mendorong dan memastikan agar pemerintah menggunakan kerangka peraturan perundang-undangan yang tepat. Penetapan Darurat Sipil yang dilemparkan pemerintah dan dibiarkan DPR adalah bukti bahwa pemerintah maupun parlemen telah abai dalam menggunakan kerangka hukum yang tepat untuk menanggulangi wabah virus serta dampak lanjutannya.
DPR melakukan pengawasan anggaran penanggulangan bencana non alam virus Covid-19 ini sehingga benar-benar tepat sasaran, bermanfaat bagi perlindungan keselamatan rakyat atas penyebaran wabah ini. Apalagi wabah ini telah menyebabkan krisis ekonomi di tengah-tengah rakyat.
DPR memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial-ekonomi dari wabah Covid-19 dengan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.
DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam menuntaskan konflik agraria. Memastikan pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan (swasta dan BUMN) untuk menghentikan tindakan yang memperkeruh situasi agraria, yakni penggusuran, terror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat di tengah situasi darurat saat ini. Lindungi hak-hak petani yang tengah mempersiapkan panen dan distribusi pangannya.
Kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan hanya tugas rakyat, tapi juga tugas DPR dan Pemerintah! Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.
Demikian pernyataan ini kami buat agar menjadi perhatian bagi semua pihak
INDONESIA, 04 Maret 2020
Hormat Kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
3. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
4. Aliansi Petani Indonesia (API)
5. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
7. Solidaritas Perempuan
8. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
9. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
10. Perkumpulan HuMa
11. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
12. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
13. Elpagar, Kalimantan Barat
14. FARMACI
15. Forsda Kolaka, Sulawesi Tenggara
16. Forum Komunikasi Petani Kendal (FPPK)
17. Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL)
18. Forum Nelayan Togean
19. Forum Pelajar Mahasiswa Rakyat (FPMR), Tasikmalaya
20. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
21. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
22. Forum Perjuangan Rakyat Mojokerto
23. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (Hitambara)
24. Kelompok Kajian dan Advokasi Tantular, Mojokerto
25. Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Sumatra Utara
26. LBH Cianjur
27. LBH Progresif Toli-Toli
28. LBH Serikat Petani Pasundan (LBH SPP)
29. Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Sulawesi Selatan
30. Lidah Tani, Blora
31. Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laeya, Bombana
32. Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja)
33. Organisasi Tani Lokal Blongko dan Ongkaw 3, Minahasa Selatan
34. Organisasi Tani Lokal Ratatotok, Minahasa Tenggara
35. Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
36. Pergerakan Petani Banten (P2B)
37. Persatuan Petani Cianjur (PPC)
38. Persatuan Petani Jambi (PPJ)
39. Persatuan Petani Siantar Simalungun (SPSS)
40. Persatuan Rakyat Salenrang Maros
41. Puspaham, Kendari
42. Rukun Tani Indonesia (RTI)
43. SEPETAK Karawang
44. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
45. Serikat Petani Badega (SPB), Garut
46. Serikat Petani Batanghari (SPB), Jambi
47. Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), Batu
48. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Kalimantan Barat
49. Serikat Petani Lumajang (SPL)
50. Serikat Petani Majalengka (SPM)
51. Serikat Petani Pasundan – Ciamis (SPP Ciamis)
52. Serikat Petani Pasundan – Garut (SPP Garut)
53. Serikat Petani Pasundan – Pangandaran (SPP Pangandaran)
54. Serikat Petani Pasundan – Tasikmalaya (SPP Tasikmalaya)
55. Seikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), Sumatra Utara
56. Serikat Petani Sriwijaya (SPS)
57. Serikat Rakyat Binjai Dan Langkat (Serbila)
58. Serikat Tani Bengkulu (STaB)
59. Serikat Tani Independen (Sekti), Jember
60. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
61. Serikat Tani Indramayu (STI)
62. Serikat Tani Kambo Trigona, Palopo
63. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
64. Serikat Tani Konawe Selatan (STKS)
65. Serikat Tani Kontu Kowuna, Muna
66. Serikat Tani Likudengen Uraso
67. Serikat Tani Sigi (STS), Sulawesi Tengah
68. Serikat Tani Tebo (STT), Jambi
69. SITAS Desa, Blitar
70. Sunspirit, NTT
71. Wahana Tani Mandiri, NTT
72. Perkumpulan Wallacea, Palopo
73. Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR)
74. Yayasan Tanah Merdeka
75. Sajogyo Institute
76. Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia
77. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
78. Greenpeace Indonesia
79. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
80. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
81. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
82. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
83. Epistema Institute
84. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
85. Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU-KSN)
86. Indonesia Centre for Enviromental Law (ICEL)
87. FIAN Indonesia
88. Indonesia for Global Justice (IGJ)
89. Perkumpulan Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Jatim
90. Yayasan Bina Desa
91. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
92. Konfederasi Serikat Nasional
93. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Add Comment