Perpanjangan moratorium izin hutan dan lahan gambut banyak menuai kritikan karena dinilai tak ada perubahan dari kebijakan lama. Ada janji pemerintah akan melaksanakan proses penguatan moratorium, tetapi hingga kini tak terlihat.  Koalisi organisasi masyarakat sipilpun mempertanyakan komitmen perlindungan hutan, Joko Widodo sebagai Presiden Rimbawan.
“Ini moratorium kamuflase. Beberapa kali kami sampaikan kepada pemerintah, kebijakan yang sebelumnya masih lemah. Jadi perlu penguatan,†kata Kiki Taufik, dari Greenpeace di Jakarta, pekan lalu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyampaikan akan ada proses penguatan moratorium. Namun, sampai saat ini belum ada dari masyarakat sipil dilibatkan dalam pembahasan.
Kiki memandang, Inpres moratorium yang dikeluarkan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu bertentangan dengan komitmen sendiri. Saat berkunjung ke Sungai Tohor, Riau tahun lalu, Presiden mengatakan moratorium akan diperpanjang dan diperkuat. Inpres juga dinilai gagal membuktikan janji perlindungan lingkungan seperti dalan Nawacita.
Yuyun Indradi, Juru Kampanye hutan Greenpeace di Indonesia mengatakan, desakan penguatan sejak perpanjangan moratorium pertama pada 2013. “Moratorium itu harusnya berbasis capaian bukan waktu. Hasilnya berupa perbaikan tata kelola hutan. Bagaimana kalau dua tahun belum ada perbaikan?â€
Dia menilai, moratorium tak jadi prioritas karena perpanjangan seadanya. Perubahan inpres hanya menyesuaikan institusi baru tetapi isi sama.
Beberapa waktu lalu, KLHK mengumumkan, area moratorium bertambah hampir sejuta hektar. “Tapi belum jelas. Peta perluasan moratorium KLHK masih bentuk jpeg. Sulit mengalisis lebih jauh.â€
“Seharusnya KLHK lebih transparan soal data. Tanpa transparansi, masyarakat sipil sulit pantau moratorium. Akan lebih lambat. Data jpeg harus kita olah ulang untuk peroleh data digital,†katanya.
Begitu juga soal penyelesaian konflik dan one map. Sampai saat ini belum ada. “One map ada baru kelautan. Padahal jadi pintu masuk menyelesaikan konflik. Tak hanya konflik masyarakat, tapi antara pemda dan Pusat.â€
Yuyun menggarisbawahi, perbandingan hak kelola masyarakat dan perusahaan jauh beda. “Gap terlalu tinggi. Lahan kelola perusahaan jutaan hektar. Kelola masyarakat tak sampai sejuta hektar.â€
Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Muhamad Kosar, mengatakan, dari seluruh area berhutan Indonesia, sekitar 54% terliput kebijakan moratorium. “Pemerintah harus lebih transparan agar publik tahu bagian moratorium mana yang dikorbankan untuk kepentingan bisnis.â€
Menurut dia, statistik yang ada tidak memberikan informasi tentang keberhasilan penundaan pemberian izin baru . Dia menuntut lebih dari angka. “Informasi letak dan sebaran angka tambah-kurang bisa bercerita soal kebijakan itu.â€
Dia meminta, pemerintah mencabut SK 5984 tentang peta indikatif arahan pemanfaatan kawasan hutan untuk izin usaha pemanfaatan kayu. Sebab, hal ini mengancam wilayah moratorium dan peluang konversi hutan alam terutama di pulau-pulau kecil.
Yafet Leonard Franky, Direktur Yayasan Pusaka, mengatakan, perlu ada perubahan kebijakan dari moratorium sebelumnya.
“Seharusnya kebijakan berbentuk peraturan pemerintah. Inpres belum kuat. Ada banyak temuan di daerah, pemda tidak mau peduli dengan inpres. Bupati masih banyak keluarkan izin sawit di kawasan hutan.â€
Dahniar Andriani, Direktur eksekutif HuMa mengatakan, selama moratorium masih ditemukan peningkatan konflik tenurial. HuMa mencatat, ada 384 konflik tenurial melibatkan sektor bisnis berbasis lahan.
“Pemerintah masih belum mampu menyelesaikan permasalahan mendasar dari tata kelola kehutanan sebagaimana dimandatkan kebijakan moratorium. Konflik-konflik ini terjadi karena buruknya kebijakan perizinan tumpang tindih dan berpotensi melanggar hak-hak masyarakat.â€
Perpanjangan moratorium, Â seharusnya diiringi upaya perubahan kebijakan, terutama soal perizinan. Sekretariat kabinet seharusnya bisa berperan aktif dalam upaya perubahan kebijakan lintas sektoral ini.
“Selama ini kebijakan moratorium belum bisa menghentikan ekspansi perusahaan di wilayah adat. Keterlanjuran izin jadi alasan merebut hutan adat,†kata Deputi I Sekjen AMAN, Mina Susana Setra.
Pemerintah, katanya, seharusnya mengkaji ulang semua izin yang pernah diterbitkan karena bagian tidak terpisahkan dari moratorium yang hakiki.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/06/14/koalisi-lsm-tagih-upaya-penguatan-moratorium-izin-hutan/