Jakarta -‎ Di era reformasi yang disertai penguatan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), konflik pertanahan (agraria) cenderung mengalami peningkatan, yang bahkan diikuti dengan tindakan kekerasan.
‎Konflik agraria pada umumnya disebabkan dan dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya masih digunakannya pendekatan kekerasan dan keamanan dalam selesaikan konflik.
Belum lagi, kekuatan perlawanan rakyat sudah tumbuh secara signifikan seiring berkembangnya demokrasi di era reformasi.
Kemudian, belum adanya platform dari pemerintah dalam menangani konflik agraria, serta tidak konsistennya pelaksanaan agenda reformasi agraria.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN, Ferry Mursyidan Baldan, menegaskan ‎kebijakan tata ruang adalah bagaimana membangun keadilan di tengah masyarakat tentang pemanfaatan tanah.
Oleh sebab itu, dalam penyelesaian konflik pertanahan tetap dibutuhkan upaya mediasi serta pertimbangan aspek kepatutan dan kepantasan.
“Penyelesaian konflik bisa dilakukan dengan mediasi. Selain itu, aspek kepatutan dan kepantasan juga harus dipertimbangkan,” kata Ferry dalam keterangannya saat menyampaikan kuliah umum “Kebijakan Agraria dan Penataan Ruang di Indonesia Sekarang Ini dan di Masa yang Akan Datang” di Universitas Padjajaran, Bandung, Kamis (21/5).
Munculnya konflik agraria biasanya juga karena adanya ketidakadilan dalam hal penguasaan dan pengelolaan tanah di mana lebih banyak terakumulasi pada pemilik modal daripada untuk kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, adanya kebijakan yang tumpang tindih terkait izin pemanfaatan ruang dalam suatu lokasi di daerah. Bahkan fungsi eksisting ruang seringkali tidak sesuai dengan fungsi peruntukan yang sudah ditetapkan dalam RTRW, sehingga munculah konflik agraria.
Ditegaskan Ferry, persoalan tata ruang bukanlah bagian dari proses demokrasi. Namun, desain tata ruang merupakan sebuah konsep yang tersentralisasi. Oleh sebab itu, pemerintah tetap harus hadir dalam berbagai persoalan yang menyangkut pertanahan.
‎Dicontohkan, penggusuran bisa saja menjadi bencana kalau semua pihak tidak paham ganti rugi. Oleh sebab itu, filosofi utamanya tetap menghargai kepemilikan lahan masyarakat.
“Nilainya ditetapkan harga pasar, bukan nilai jual objek pajak. Kami mendorong tim penilai yang memberikan (nilai tanah) karena ini adalah pemindahan kehidupan,” ucap Ferry.
Konflik agraria tidak hanya menyangkut masalah kepemilikan lahan tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sumber kekayaan alam yang di dalamnya terkait erat dengan urusan pertanian, kehutanan, pertambangan dan kelautan.
Di daerah perkotaan bahkan sering dijumpai ketidaktertiban dalam penatagunaan tanah berdasarkan tata ruang wilayah. Akhirnya, pembangunan di perkotaan menjadi tidak tertib dan tidak terkendali serta konflik kepentingan semakin meningkat.
Selain itu, lemahnya konsekuensi hukum apabila terjadi pelanggaran kesepakatan penataan ruang, meskipun sudah tertuang dalam peraturan daerah (Perda). Konsekuensi hukum atas pelanggaran regulasi rencana tata ruang seringkali tidak diperlakukan secara ketat.
Banyaknya sengketa tanah menunjukkan belum terlindunginya hak rakyat atas tanah. Oleh sebab itu, pentingnya peran negara dalam kebijakan dan strategi pada pelayanan serta upaya penanganan sengketa, strategi pengendalian tata ruang.
Pemerintah, kata Ferry, memiliki peran mengelola dan memberdayakan agraria berlandaskan pada kepentingan publik sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Yeremia Sukoyo/FEB
Suara Pembaruan