Pemetaan Partisipatif

KORUPSI SUMBER DAYA ALAM, KEJAHATAN YANG MERAMPAS RUANG HIDUP RAKYAT!

Korupsi membuat penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam carut marut. Alih-alih mensejahterakan rakyat sebagaimana amanat konstitusi, penguasaan tersebut justru lebih sering menyebabkan ruang hidup rakyat dan aksesnya terhadap sumber daya alam dirampas. Hak rakyat atas sumber daya alam lebih banyak dicatat dalam angka-angka konflik agraria, ketimpangan, dan kriminalisasi! Sebaliknya, penguasaan yang timpang tersebut juga lebih banyak menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan ketidak pastian hukum.

Angka konflik agraria terus meningkat, tercatat setidaknya pada tahun 2013 terjadi 369 konflik agraria dengan total luasan mencapai 1.281.660.09 hektar dan melibatkan 139.874 kepala keluarga. Ketimpangan pengelolaan juga juga umum, termasuk dalam sektor kehutanan yang hanya mengalokasikan 3,18% untuk masyarakat lokal dari total 34 juta hektar kawasan hutan yang dikelola. Sisanya, hutan yang juga merupakan ruang hidup masyarakat, habis dikuasai korporasi pemegang konsesi hutan skala besar. Cerita yang sama berlangsung di Jawa, meskipun dikuasai Perhutani, badan usaha milik negara, pengelolaan hutan tidak lebih baik, juga tidak lebih peka terhadap akses masyarakat.

Tragisnya, upaya masyarakat untuk memperjuangkan aksesnya terhadap sumber daya alam, justru dijadikan dasar untuk mengkriminalisasi masyarakat. Berbagai undang-undang sektoral yang ada, baik kehutanan, pertambangan, bahkan minyak dan gas mengatur pasal pidana yang begitu represif terhadap masyarakat lokal dan aksesnya terhadap sumber daya alam. Asyani hanya satu cerita, akan tetapi sejak berlakunya UU 18/2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai misal, kriminalisasi telah berjalan dan mengkriminalisasi setidaknya 22 pelaku yang sebagian besar masyarakat marjinal. Salah satunya, Maridjo yang dilabel perusak hutan hanya karena mengambil kayu dari depan halaman rumahnya untuk menambal atap.

 

[wpdm_package id=’1568′]