Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menolak rencana proyek hutang Bank Dunia (World Bank) kepada Kementerian ATR/BPN atas nama Pemerintah Indonesia yang disebut sebagai Akselerasi Reforma Agraria. Sebab, seluruh komponen hutang tersebut digunakan bukan untuk reforma agraria.
Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika melalui siaran persnya pada Minggu (22/7/2018) di Seknas KPA, Pancoran, Jakarta.
Dewi menuturkan, komponen hutang tersebut digunakan untuk Program Satu Peta (one map policy), dikombinasikan dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan layanan informasi tanah elektronik.
Sebagaimana disampaikan Menteri Sofyan Djalil melalui siaran persnya yang menegaskan bahwa Bank Dunia berkomitmen mendukung program sertifikasi tanah melalui pinjaman sebesar 200 juta dollar atau Rp 2,7 Triliun.
KPA menganggap bahwa Kementerian ATR/BPN-RI dan Bank Dunia secara sengaja memberikan informasi yang salah kepada rakyat Indonesia bahwa kegiatan yang didanai utang tersebut sebagai proses akselerasi atau percepatan reforma agraria. Sebab, program tersebut tidak sama, bahkan sangat bertentangan dengan semangat reforma agraria, yang sedang dijadikan program prioritas Pemerintah Joko Widodo.
Reforma Agraria atau Agraria Reform dalam khazanah ilmu pengetahuan dan praktik di seluruh dunia bukanlah program pendaftaran tanah, sertifikasi tanah dan pembuatan peta. Apalagi dilakukan secara parsial. Ini tentu klaim yang menyesatkan. Reforma Agraria adalah penataan struktur agraria akibat ketimpangan penguasaan struktur agraria nasional. Ketimpangan tersebut bercirikan sebagian besar rakyat khususnya petani, buruh tani, masyarakat adat tidak memiliki tanah atau bertanah sempit. Sementara, segelintir badan usaha skala besar dan pengusaha menguasai tanah maha luas di Tanah-Air kita.
Reforma agraria juga harus ditujukan untuk menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan, dengan mengedepankan pemulihan hak masyarakat atas tanah dan sumber-sumber ekonominya. Dengan tujuan-tujuan tersebut, maka reforma agraria adalah sebuah langkah membuka kesempatan bagi rakyat tak bertanah memiliki tanah.
Karena itu, sertifikasi tanah (land titling) bukanlah reforma agraria. Ia adalah pelayanan publik kepada orang yang sudah memiliki tanah namun belum bersertifikat. Memakai dana hutang yang kelak harus ditanggung bergenerasi tentu tidak adil.
Dua dekade lalu, Bank Dunia juga memberikan hutang kepada Orde Baru pada proyek Land Administration Project (LAP). Tempat pelaksanaan LAP saat itu adalah Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor dan Karawang. KPA pada masa itu memberikan kritik keras sebab proyek administrasi pertanahan tersebut akan menjadi instrumen liberalisasi tanah.
Saat ini, apa yang dikhawatirkan dari proyek LAP dua dekade lalu telah terjadi. Lokasi pelaksanaan LAP sepenuhnya telah terjadi konsentrasi tanah kepada segelintir pengusaha kawasan industri, perumahan, pusat belanja, apertemen, sementara pemilik tanah lama tidak terlibat dalam proses pembangunan semacam ini selain menjual tanahnya.
Berkaca dari kegagalan LAP dalam mengangkut para pemilik tanah ke dalam proses pembangunan. Sangat penting untuk membatalkan hutang tersebut, apalagi dengan embel-embel Reforma Agraria sebab sangat menyesatkan. Berbahaya, jika setiap kebijakan terkait pertanahan langsung mengatasnamakan reforma(si) agraria.
Selain membatalkan hutang tersebut, KPA juga mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan janji reforma agraria melalui program redistribusi tanah kepada rakyat yang berhak, yang didukung secara utuh dan sistematis dengan program-program dukungan lainnya pasca redistribusi tanah dilakukan, sehingga membuat tanah-tanah tersebut produktif dan menjadi jalan untuk kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dalam Refleksi 3 (Tiga) Tahun Status Reforma Agraria Jokowi-JK (Catatan Akhir Tahun KPA 2017), selain masalah Perpres RA yang tak kunjung ditandatangani, bentuk kelambagaan yang sektoral (dualisme tanah; hutan dan bukan-hutan), KPA juga telah mengingatkan masalah anggaran negara khusus untuk agenda reforma agraria. Sangatlah fundamental, bahwa agenda Reforma Agraria tidak didanai oleh hutang sebab akan membelokkan tujuan utama reforma agraria yang sesuai dengan UUPA 1960 dan Konstitusi UUD 1945. Reforma Agraria harus lah dipimpin langsung oleh Presiden dalam mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaannya. Hanya dengan kepemimpinan langsung Presiden maka koordinasi lintas Kementerian/Lembaga bisa dilakukan secara efektif.
Dalam mendorong percepatan tersebut, KPA kembali mengingatkan pemerintah untuk menjalankan reforma agraria secara bottom-up process dengan melibatkan masyarakat mengindentifikasi obyek dan subyek RA. KPA bersama seluruh serikat tani anggotanya telah mendorong proses dari bawah ini dengan nama Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) sebagai jalan tengah atas kebuntuan kebijakan (top-down) TORA. LPRA merupakan wilayah-wilayah yang telah memenuhi syarat-syarat pelaksanaan reforma agraria. Mengingat waktu tak lama lagi, hendaknya pemerintah konsisten pada tujuan-tujuan sejati reforma agraria, fokus pada usulan-usulan petani dan masyarakat adat dari bawah.
KPA juga mengecam langkah Bank Dunia mendukung proses liberalisasi tanah di Indonesia.
Add Comment