Pemetaan Partisipatif

Memetakan Kawasan Adat, Melestarikan Hutan Karampuang

Warga Karampuang sebagian besar masih memegang teguh budaya leluhur. Sejumlah ritual masih dilakukan, termasuk berbagai tradisi-tradisi. Termasuk tradisi menumbuk padi yang disebut appadekko. Foto: Wahyu Chandra

Perjalanan menuju kawasan adat Karampuang di Desa Tompo Bulu, Kecamatan Bulu Boddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, cukup memacu adrenalin. Berkendara sekitar sejam dari Sinjai, melintas lereng pegunungan. Mendaki dan menurun, cukup terjal. Di kawasan itu, rumah-rumah adat khas Karampuang berderet rapi.

Pagi itu, Rabu (6/8/14), saya bersama tim pemetaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, tiba di sana. Puluhan orang sudah menunggu, termasuk Puang Mengga’, Gella Karampuang, tokoh adat tertinggi Karampuang setelahTomatoa. Gella Karampuang dengan ramah mempersilakan kami masuk  ruang pertemuan.

Agenda pertemuan ini  guna pemetaan partisipatif oleh AMAN Sulsel. Ada lokakarya pemetaan partisipatif dan pelatihan teknis pemetaan kawasan adat. Warga akan diajarkan membuat peta manual, menggunakan GPS, sebagai alat bantu pemetaan. Juga menetapkan titik-titik kordinat dalam lembar peta yang akan dibuat.

Puang Mengga’ tampak bersemangat. Dengan bahasa lokal Bugis bercampur Konjo, dia mengatakan, tujuan kegiatan ini demi eksistensi Karampuang yang terus mendapat tekanan dari luar.

“Ini harus dipetakan supaya jelas batas-batas kawasan adat, meskipun sebenarnya sudah diketahui, namun penting jika digambarkan jelas dan titik-titiknya,” kata Gella Karampuang.

M Basri, Plt Kepala Desa Tompo Bulu, juga antusias. Menurut dia, kegiatan ini penting karena akan jadi rujukan dan bukti ketika harus berhadapan dengan pemerintah. Basri prihatin dengan berbagai kondisi yang mereka alami selama ini. “Kita selama ini seperti mencuri milik kita sendiri.”

Hutan adat Karampuang memiliki kekhazan tersendiri karena jarang terjamah manusia, khususnya di dalam kawasan adat yang dikeramatkan. Di pintu masuk hutan ini terdapat sumur yang tak pernah kering dan dipercayai memiliki khasiat tertentu. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Sardi Razak, ketua BPH Aman Sulsel, pemetaan ini langkah stategis sebagai respon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35/2012 terkait pengakuan eksistensi tanah adat. Ia juga dukungan atas UU Perlindungan Masyarakat Adat yang menunggu penetapan dari DPR.

“Pemetaan ini untuk mengetahui batas-batas wilayah adat, bisa jadi sebagai dasar pemerintah desa dan daerah.”

Menurut pengurus PD AMAN Sinjai, Wahyullah, pemetaan kawasan adat Karampuang memiliki arti penting. Terlebih, beberapa tahun terakhir klaim lahan antara pemerintah dan masyarakat sering terjadi. Bupati Sinjai bahkan mengeluarkan surat edaran berisi larangan bagi warga beraktivitas dan mengambil hasil apapun di kawasan hutan. Termasuk di hutan adat Karampuang.

Surat edaran itu, katanya, menimbulkan ketakutan luar biasa bagi masyarakat, terutama yang menggantungkan hidup dari hutan. “Surat ini terkesan alat aparat kehutanan menakut-nakuti warga. Padahal, aturan lebih tinggi, ada keputusan MK tentang tanah adat, justru berkata sebaliknya,” katanya.

Wahyullah juga mempersoalkan redaksi surat antara lain mengatakan ancaman pidana bagi siapapun yang beraktivitas dan merusak hutan, termasuk mengambil hasil berbagai tanaman produksi di dalamnya.

“Kalau sekadar mengambil buah dari pohon yang kebetulan di dalam hutan, apakah itu juga disebut merusak? Warga sekadar mengambil hasil buat kebutuhan sehari-hari.”

Puang Mengga’ mengakui ketakutan-ketakutan itu. Apalagi upaya kriminalisas warga dialami belasan warga Dusun Salohe.

“Warga hendak ditangkap karena uduhan perambahan hutan padahal mereka beraktivitas di kebun sendiri, tapi diklaim kawasan hutan negara. Saya bertahan mendampingi warga sampai dilepaskan.”

Menurutnya, pada 1980-an pemerintah pernah mengukur daerah itu. Hanya, saat itu pengukuran melibatkan kepala desa dan tanpa ada pelibatan warga.

Konflik pengelolaan hutan pernah dia alami pada 1990-an. Dia ditangkap karena menebang pohon di hutan Karampuang.  “Saya bilang ke aparat, lebih baik saya mati daripada dilarang masuk hutan yang sudah kami diami turun temurun.”

Dia menilai, kekhawatiran pemerintah hutan rusak oleh warga tak beralasan. Dalam adat Karampuang, hutan memiliki arti khusus, sangat sakral dan tempat sejumlah ritual adat. Segala aktivitas pengambilan kayu dalam hutan adat hanya bisa melalui prosedur adat yang ketat dan sanksi keras bagi pelanggar.

“Bahkan ada hutan sama sekali tak bisa diganggu, tak bisa ditebang, atau mengambil apapun.”

Kala saya memasuki sebagian hutan terlarang ini, kondisi pohon tampak sangat tua dan berlumut. Di bagian dalam bahkan terdapat sisa-sia peninggalan pra sejarah, berupa gua-gua ada bekas telapak tangan. Sayangnya, saya tak bisa memasuki hutan karena sulit dan licin.  “Kalau habis hujan berbahaya. Jalanan ke sana berbatu dan licin,” kata Puang Mengga’.

Karampuang memiliki kekhasan budaya. Istilah Karampuang berasal dari kepercayaan bahwa di daerah itu dulu tempat pertemuan antara karaeng dari Kerajaan Gowa,  yang bersuku Makassar dan puang dari Kerajaan Bone bersuku Bugis.

Pemimpin awal di Karampuang sebagai Tomanurung atau orang yang diturunkan dari langit yang digelari sebagai Manurung KarampuluE. Tomanurung inilah yang mengumpulkan warga dan berpesan agar tetap mempertahankan tradisi.Tomanurung ini lalu menghilang.

Dalam perkembangan, muncul tujuh Tomanurung baru, salah satu perempuan, yang kemudian diangkat sebagai pemimpin di daerah itu. Sedang enam Tomanurung lain jadi raja di tempat-tempat lain. Setelah saudara-saudaranya menjadi raja,Tomanurung ini menghilang dengan menyisakan sebuah benda, kini dianggap sebagaiarajang atau pusaka adat tertinggi.

Untuk menghormati Tomanurung perempuan inilah, rumah adat di Karampuang bersimbol perempuan.

Warga komunitas adat Karampuang, Sinjai, memperhatikan peta yang akan dijadikan dasar pembuatan peta kawasan adat, yang akan dilakukan secara partisipatif oleh warga. Foto: Wahyu Chandra

Hutan adat terjaga

Pengelolaan hutan di kawasan adat Karampuangpun diatur dalam mekanisme tersendiri. Hutan adat, yang dimiliki komunitas bisa diakses atau dimiliki oleh warga dengan syarat-syarat tertentu. Antara lain atas sepengetahuan dan seizin adat, mengambil secukupnya sesuai kebutuhan serta kewajiban menanami kembali hutan 10 kali lipat dari yang diambil.

Bagi yang melanggar aturan ini sanksi sangat berat, yaitu diusir atau pencabutan hak-hak adat hingga beberapa generasi. Sanksi ini berlaku bukan hanya pada rakyat biasa. Bahkan ketika Gella,  sang pemimpin tertinggi melanggar maka hak dicabut.

“Kalau ada Gella melanggar, misal mencuri, membunuh atau menyiksa orang lain, tujuh turunan tak boleh ada yang menjadi Gella.”

Di Karampuang juga memiliki cara pengelolaan sawah, khusus adat– salah satu dariarajang– hingga disebut galung arajang (sawah pusaka). Sawah adat, menurut Mengga’ yang dimiliki kolektif oleh adat. Ia panganreang (sumber penghidupan) pemangku adat, juga bagi kepentingan warga.

Terdapat tiga jenis kepemilikan sawah adat di Karampuang, antara lain, galung arajang, yaitu sawah hanya bisa dimiliki Arung atau Tomatoa, atau disebutakkinanrena arungnge (sumber makan arung). Namun, Arung bisa membagikan hasil pada orang lain.

Bagi warga miskin, yang terkena bencana, orang terlilit utang dan pendatang, mereka diberi hak mengelola sawah disebut galung accapengngeng. Ia diawasi Gella. Penentuan penerima hak kelola ditetapkan adil oleh Tomatoa, yang ditetapkan setiap tahun bagi warga yang membutuhkan dan memenuhi syarat.

Ada juga disebut galung hara-hara. Ialah sawah bagi keluarga arung dan keluarga petinggi adat lain, seperti gella, sanro dan guru.

Karampuang juga dikenal memiliki sejumlah ritual adat, yang selalu dirayakan setiap tahun. Memulai masa tanam padi harus dengan ritual disebut mappatinro rese.Pertama-tama, dilakukan di rumah adat Tomatoa dan Gella, letaknya bersebelahan. Di dua rumah adat ini dilakukan pembacaan lontara warisan leluhur disebut lontara tolo meong pao karellae. Saat bersamaan, warga di rumah masing-masing menyiapkan ikat-ikatan daun tertentu sambil menunggu ritual di rumah adat selesai.

Desa Tompo Bulu, berpenduduk sekitar 3.000 jiwa dengan 833 keluarga, luas wilayah sekitar 30,32 hektar. Desa ini memiliki tujuh dusun, berjarak 33 km dari Sinjai. Pengaruh budaya Karampuang sangat kental terasa di desa ini, termasuk kepatuhan tinggi pada pemangku adat dan ritual-ritual adat.

Terdapat dua Rumah adat di Karampuang, yang didiami oleh Tomatoa sebagai pemimpin spritual tertinggi dan Gella Karampuang sebagai pemimpin pemerintahan adat. Rumah ini dibangun di dalam kawasan hutan, di daerah yang berbatuan. Kedua rumah ini dibangun kembali di tahun 1960-an karena dibakar oleh tentara karena dituduh sebagai tempat persembunyian laskar DI/TII Kahar Muzakkar. Foto: Wahyu Chandra