“(There) should be One Map as the one and only national reference,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mengetahui banyaknya informasi bersifat geospasial yang tumpang tindih antar-instansi pemerintah, saat gelaran Sidang Kabinet Desember 2010.
Momen inilah yang menjadi tonggak keluarnya Kebijakan Satu Peta. Kegusaran Presiden SBY saat itu, yang menganggap informasi geospasial yang tumpang tindih langsung maupun tidak, akan mempengaruhi berbagai kebijakan strategis nasional.
Kebijakan Satu Peta tersebut, diwujudkan dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Namun, pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini, tidak berjalan sebagaimana yang dicitakan. Pasca-disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, masih sering dijumpai banyaknya informasi geospasial, yang dihasilkan oleh baik Pemerintah Pusat mapun daerah, tumpang tindih, termasuk peta.
Akibatnya, sampai dengan saat ini masih banyak wilayah yang berkonflik atau berpotensi konflik karena perbedaan informasi geospasial yang digunakan itu. Penentuan batas wilayah, pemberian izin pemanfaatan lahan seperti pertambangan, perkebunan, dan penyusunan peta rencana tata ruang adalah beberapa kegiatan yang terdampak tidak suksesnya Kebijakan Satu Peta tersebut.
Menyadari hal tersebut, pada 21 Desember 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Paket Kebijakan Tahap VIII yang menargetkan Percepatan One Map Policy sebagai salah satu poin yang harus dilaksanakan.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 merupakan perwujudan dari sisi regulasi itu. Peraturan ini dimaksudkan untuk mewujudkan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal.
Kompilasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Solusi
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 yang diundangkan pada 4 Februari 2016 merupakan salah satu katalis untuk mewujudkan Kebijakan Satu Peta. Target pelaksanaan dan penetapan pelaksana Percepatan Kebijakan Satu Peta pun sudah terlampir dalam Lampiran Peraturan Presiden ini.
Ambil contoh, Kementerian Dalam Negeri yang diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan Peta Administrasi Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa seluruh wilayah Indonesia dan Peta Lahan Sawah untuk seluruh wilayah Indonesia harus selesai paling lambat September 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diberi target untuk menyelesaikan Peta Penujukan Kawasan Hutan paling lambat Desember 2016. Tentunya, semua peta ini harus sinkron dengan peta-peta lain.
Secara umum, Peraturan Presiden ini, dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016, mengamanahkan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta dilaksanakan melalui empat kegiatan yaitu kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan solusi.
Kompilasi dilaksanakan melalui pengumpulan data dan informasi geospasial tematik (IGT) yang dimiliki oleh kementerian/LPNK, Kelompok Kerja Nasional IGT, dan Pemerintah Daerah seluruh wilayah Indonesia.
Integrasi dilakukan melalui proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap Informasi Geospasial Dasar (IGD). Sinkronisasi dijalankan melalui penyelarasan antar- IGT yang telah terintegrasi. Sedangkan solusi mempunyai makna penyusunan rekomendasi dan fasilitasi penyelesaian permasalahan IGT yang dihadapi dalam pelaksanaan Sinkronisasi.
Untuk mengawal pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta ini, Presiden membentuk Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta (Tim Percepatan KSP), Tim Pelaksana Kebijakan Satu Peta (Tim Pelaksana KSP), dan Sekretariat. Tim Percepatan KSP yang dikomandoi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mempunyai tugas melaksanakan koordinasi strategis dalam implementasi percepatan Kebijakan Satu Peta. Termasuk juga menetapkan kebijakan, melakukan pemantauan, dan evaluasi implementasi percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.
Tim Pelaksana KSP yang diketuai oleh Kepala Badan Informasi Geospasial mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan teknis dalam percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Sekretariat sendiri mempunyai tugas yang “paling berat”. Di organisasi inilah empat kegiatan (kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan solusi) Percepatan Kebijakan Satu Peta dilaksanakan.
Unit, yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, membawahi dua satuan tugas. Satuan Tugas 1 melakukan kompilasi dan integrasi, sedangkan Satuan Tugas 2 melaksanakan sinkronisasi dan solusi. Tim inilah yang akan menjadi leading sector dalam pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta.
Mimpi jadi Kenyataan?
Kebijakan Satu Peta sebenarnya sudah didengungkan jauh hari, meski secara parsial, bahkan sebelum Presiden Joko Widodo mengeluarkan Paket Kebijakan VIII. Dalam penyusunan peta rencana tata ruang wilayah misalnya. Banyaknya informasi geospasial yang tumpang tindih apabila di-overlay menimbulkan problem yang luar biasa dalam menyusun peta rencana tata ruang. Sayangnya, karena sifatnya yang parsial dan sebagai pelengkap, menyebabkan mimpi “Satu Peta” ini hanya sampai di level teknis saja.
Penentuan kebijakan peruntukan lahan skala nasional yang semerawut akibat informasi geospasial yang dihasilkan, yang ternyata tidak dapat diintegrasikan secara sempurna, menjadi salah satu contoh betapa urgennya “Satu Peta” ini. Keberadaan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan mimpi “Satu Peta” menjadi nyata.
Selesainya Peta Batas Wilayah yang selama ini hanya mimpi karena bertahun sudah tak kunjung kelar kini mulai menampakkan titik terang. Penetapan target dan pihak yang bertanggung jawab, penunjukan tim pelaksana, dan yang paling penting awareness dari Presiden menjadi bukti bahwa media ini sudah sangat komprehensif untuk mewujudkan Kebijakan Satu Peta.
Meski demikian, layaknya beberapa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, masalah implementasi dan daya paksa adalah beberapa hal yang patut diwaspadai. Kewenangan Tim Percepatan KSP yang dibantu oleh Tim Pelaksana KSP dan Sekretariat juga harus diperkuat dalam sisi implementasi.
Di Peraturan Presiden ini, masih belum terlihat kekuatan Tim Percepatan KSP dalam “mengkoordinasikan” kementerian/LPNK, Kelompok Kerja Nasional IGT, dan Pemerintah Daerah seluruh Indonesia. Belum lagi, masalah reward dan punishment yang bisa diberikan oleh Presiden jika “anak-anaknya” dapat atau tidak memenuhi target yang telah ditetapkan. Beberapa contoh ketiadaan pengaturan ini, tentunya berpotensi menggagalkan mimpi Satu Peta menjadi nyata.
*Akbar Hiznu Mawanda, S.H., M.H. Bagian Hukum, Badan Informasi Geospasial (BIG). Jl. Raya Jakarta-Bogor KM.46, Cibinong, Bogor, Indonesia 16911
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/06/13/menanti-terwujudnya-kebijakan-satu-peta-yang-komprehensif/