Pemetaan Partisipatif

Mencontoh Implementasi Program REDD+ di Sumatera Barat

Berdasarkan Strategi Nasional (Stranas) REDD+ 2010, Sumatera Barat merupakan satu dari sembilan propinsi prioritas untuk pelaksanaan program pengurangan emisi karbon, karena tingkat referensi emisi data historis laju deforestasi dan lahan gambut di Indonesia. Sumbar memlilki 2,3 juta hektar lebih kawasan hutan atau setara 55,40 persen dari luas dataran wilayah administrasinya.

Pemprov Sumbar berkomitmen untuk melakukan pembangunan rendah emisi guna mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang baik dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Propinsi Sumbar 2005-2025.

Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

Pengelolaan sumberdaya berbasis nagari merupakan upaya memposisikan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Pengalaman pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah membuktikan akan keberlanjutan kawasan hutan. Kearifan lokal menjadi pengikat model pengelolaan yang akan diterapkan, misalnya pengelolaan kawasan hutan melalui konsep parak, rimbo larangan, hutan nagari, rimbo ulayat dan sebagainya.

Hutan merupakan faktor penting secara ekonomi, sosial, politik, budaya dan religius. Hutan menyediakan lahan yang diperlukan untuk pertanian, pemukiman dan perkebunan. dan termasuk hasil hutan kayu maupun bukan kayu yang bernilai ekonomis. Praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan nagari, salah satunya model pengelolaan dengan sistem “parak” di Nagari Koto Malintang dan Koto Gadang, di Kabupaten Agam, Rimbo Larangan di Paru Kabupaten Sijunjung, Hutan Nagari di Simanau Kabupaten Solok, serta Simancuang di Kabupaten Solok Selatan. Ini adalah praktik terbaik dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang direplikasi pada wilayah lain di seluruh Sumbar.

Potensi Hutan Untuk REDD+

Berdasarkan kajian Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar dan KKI WARSI pada 2011, terdapat potensi sekitar 980.000 hektar yang bisa dikembangkan menjadi hutan nagari, hutan kemasyarakatan dan bentuk lainnya. Ini berpotensi membantu mitigasi perubahan iklim, dan berkontribusi terhadap pemenuhan target Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen secara mandiri serta 41 persen dengan dukungan International.

Pemprov Sumbar berkomitmen mendorong pengelolaan sumberdaya alam berbasis nagari, di sektor kehutanan, dengan telah menyusun peta jalan 500.000 hektar kawasan hutan dikelola bersama masyarakat dari tahun 2012-2017. Untuk memenuhi target tersebut, pemprov membuka layanan melalui pembentukan Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang difungsikan sebagai pusat data dan layanan fasilitasi masyarakat nagari dalam pengelolaan hutan.

Pemprov mendorong percepatan program pengurangan emisi GRK melalui nota kesepahaman bersama pemerintah kabupaten/kota yang memiliki kawasan hutan, diantaranya; Kabupaten Solok Selatan, Solok, Sijunjung, Padang Pariaman, Pasaman Barat, Pasaman, Pesisir Selatan, dan Kota Padang. Nota kesepahaman tersebut sebagai landasan bagi para pihak dalam pelaksanaan program dan kegiatan dalam rangka mendukung keberhasilan program REDD+.

Pemprov Sumbar juga telah mengalokasikan dana untuk pembinaan inisiatif di 102 hutan. Semua itu diharapkan mendorong pemerintah Pemprov Sumbar menjadi yang terdepan dalam mengelola hutan dengan skema REDD+.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Untuk implementasinya, telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) REDD+ yang terdiri dari perwakilan pemerintah, organisasi pendamping masyarakat, ahli/pakar dan berbagai komponen lainnya. Melalui kelompok ini kemudian disusun dokumen Strategi dan Rencana Aksi Propinis (SRAP) REDD+ yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola, kelembagaan, dan tata ruang untuk mendukung komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Pelibatan Penuh Masyarakat

Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar, Hendri Oktavia kepada Mongabay pada awal April 2015 mengatakan kesuksesan pelaksanaan program REDD+ karena dilakukan berbasis masyarakat. Masyarakat sebagai pengelola hutan mendapatkan manfaat langsung dari kekayaan sumberdaya alam yang mereka miliki.

“Kita membuka akses terhadap masyarakat seluas-luasnya untuk mengelola hutan dan tentunya dengan skema yang telah tersedia, baik dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Nagari maupun Hutan Tanaman Rakyat. Setidaknya saat ini seluas 32.700 hektar kawasan hutan yang telah dikeluakan Surat Keputusan (SK)  Penetapan Areal Kerja (PAK) oleh Menteri Kehutanan (kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk dikelola menjadi Hutan Nagari dan seluas 36.800 hektar dikelola menjadi Hutan Kemasyarakatan,” kata Hendri.

Sekitar 76.000 hektar sedang dalam proses penetapan areal kerja atau yang sedang berproses di kementerian dan yang sedang berproses di tingkat tapak/di masyarakat sekitar 80.000 hektar. Sehingga total berjumlah lebih dari 230.500 hektar yang telah diproses Pemprov Sumbar.

“Kami telah mengajak semua dinas-dinas terkait di kabupaten/kota untuk turut serta membantu dan mendukung pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat ini, baik dalam bentuk Hutan Kemasyarakat maupun Hutan Nagari. Di tingkat tapak, pengelolaan hutan akan memberikan manfaat jika didukung oleh SKPD-SKPD terkait melalui program-program yang telah disusun,” lanjut Hendri.

Dinas Perkebunan dapat mengembangkan budidaya karet, kopi dan coklat dalam kawasan hutan pengelolaan masyarakat. Dinas Peternakan bisa masuk melakukan pengembangbiakkan sapi bersama masyarakat dan banyak lainnya. Integrasi pengelolaan hutan dengan berbagai program dari dinas-dinas tersebut akan memberikan manfaat yang nyata, tambahnya.

Implementasi REDD+ di Sumbar dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kapasitas, kelembagaan, perluasan dan penguatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari, data dasar dan peta kadastral, Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik, sekolah hijau, skema hibah kecil, penataan batas dan penguatan petak ukur permanen perhitungan karbon dan lainnya.

Mahasiswa sebagai calon intelektual masa depan, dipandang memiliki peranan strategis untuk pendekatana kepada masyarakat. Para mahasiswa bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan persiapan-persiapan yang dibutuhkan bagi lokasinya untuk dapat mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Dimana masyarakat dapat mengelola hutan lindung dan hutan produksi untuk mendapatkan manfaat ekonomi, ekologi, sosial dan budaya yang  berbasis keberlanjutan dengan skema hutan nagari, hutan kemasyarakatan maupun bentuk lainnya.

Propinsi Paling Siap

“Sumatera Barat merupakan propinsi terakhir yang mengajukan diri untuk terlibat dalam program pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Walau masuk paling akhir, propinsi ini merupakan yang terbaik dalam pelaksanaan program REDD+ dibandingkan propinsi-propinsi lainnya., Peranan Adat merupakan kunci dari keberhasilan ini, sebab adat menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pengelolaan hutan. Sangat banyak pembelajaran-pembelajaran tentang model pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang dimilki masyarakatnya, model seperti ini masih melekat dan tetap menjadi pedoman pada saat melakukan pengelolaan kawasan hutan,” ucap Heru Prasetyo, mantan Kepala Badan Pelaksana REDD+.

Mantan Kepala BP REDD+ (tengah, berkacamata) Heru Prasetyo didampingi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasaman saat mengunjungi kelompok pengelola hutan kemasyarakatn Karya Setia di Kabupaten Pasaman, Sumbar. Foto: Riko Coubut

Heru menambahkan bahwa kearifan lokal menjadi modal utama propinsi ini untuk terlibat dalam program REDD+ dan ditambah dengan dukungan penuh dari pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk pelaksanaannya di lapangan. Dari 500.000 hektar yang ditargetkan oleh Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar, maka setidaknya telah ikut membantu program pendistribusian akses kelola hutan oleh masyarakat sebagaimana yang sedang digerakkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Sementara itu, Wiratno selaku Direktur Bina Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan Presiden telah membuat program percepatan akses hutan kelola perhutanan sosial untuk mendukung pembangunan rendah karbon seluas 12,7 juta hektar yang akan diserahkan kepada masyarakat. Untuk mencapai target itu, maka setidak-tidaknya seluas 2,5 juta hektar setiap tahunnya harus didistribusikan di seluruh Indonesia.

KLHK sendiri baru mampu mendistribuskan sekitar 100 ribu hektar pertahun. Sehingga Menteri KLHK telah membentuk Satgas guna mencapai target tersebut. Lokasi hutan yang bakal didistribusikan sudah teridentifikasi dan sudah diploting dan diharapkan segera dibagikan kepada masyarakat.

Kawasan hutan yang diajukan pengelolaannya di Sumbar umumnya merupakan kawasan hutan lindung, maka pengelolaannya harus diprioritaskan pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan dan ekowisata. Sumbar juga kaya dengan potensi sumberdaya airnya, yang dapat dimanfaatkan untuk energi terbarukan seperti mikrohidro dan minihidro, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/04/23/mencontoh-implementasi-program-redd-di-sumatera-barat/