Pemetaan Partisipatif

Merintis Peta Wilayah Adat

Pembuatan Peta Indikatif Wilayah Adat akan membuka konflik yang ada antara masyarakat dan pengusaha.Tumpang tindih pemanfaatan lahan di lapangan kerap memicu konflik antara perusahaan semisal perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat adat. Keprihatinan tentang tumpang tindih pemanfaatan lahan juga mencuat dalam seminar “MP3EI dan Kedaulatan Hidup Rakyat Pedesaan Nusantara”  di Bogor (29/1). Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) memandang, adanya Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) semakin mempercepat alih fungsi lahan yang dapat merugikan masyarakat pedesaan.

Karena itu sejak 2013, LSM Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) memperjuangkan nasib masyarakat pedesaan dengan pemetaan tandingan (counter mapping). Momentumnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 mengenai kawasan hutan hukum, penandatanganan nota kesepahaman oleh 12 kementerian dan lembaga untuk perbaikan dan percepatan proses-proses pengukuhan kawasan hutan serta kebijakan satu peta (one map policy).

 “Kita perlu memunculkan alternatif informasi terkait dengan klaim atau situasi penguasaan di kawasan hutan. Ini penting karena sampai hari ini pemerintah tidak mempunyai tempat di mana peta-peta wilayah adat dapat dihadirkan,” kata Kasmita Widodo, Koordinator Nasional JKPP. Dengan adanya Peta Indikatif Wilayah Adat diharapkan masyarakat adat dapat mengklaim wilayah yang menjadi hak mereka.

Kalau Peta Indikatikatif Wilayah Adat tidak ada, sambung Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), “Saya tidak bisa membayangkan makin banyak konflik di masyarakat adat karena dia (pengusaha) akan menggilas masyarakat adat atas nama pembangunan ekonomi.”

Membangkitkan Konflik

Tak mudah membuat peta wilayah masyarakat adat. Banyak kriteria harus dipenuhi agar peta tersebut valid. T. Niratha Samadhi, Deputi V Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyatakan, “Satu Peta Indonesia merupakan usaha untuk membangun peta sebagai bahasa komunikasi para pihak sehingga peta harus memenuhi referensi, standar, pangkalan data, dan geoportal.” Salah satu standar yang ditetapkan adalah penerapan skala 1:50.000.

Sementara itu, Yando Zakaria, penggiat Lingkar Pembaruan Pedesaan dan Agraria (Karsa) mempertanyakan, “Kriterianya apa ketika kita berbicara mengenai masyarakat adat? Kalau tutur bahasa dimasukkan sebagai kesatuan wilayah hukum adat, nggak match, nggak ketemu. Pasalnya, tata bahasa tidak ada di dalam subyek hukum dari wilayah adat. Tata bahasa sama hanya menunjukkan sebaran orang yang berbahasa sama, tetapi bukan hukum yang berlaku.”

Sampai Januari 2014, telah terpetakan lahan seluas 9 juta ha. Abdon menambahkan, “Yang dipetakan ini baru 10%.” Dari situ saja telah terlihat tumpang tindih pemanfaatan lahan. Untuk mengatasi hal tersebut, sambung dia, “Biar masyarakat adat dengan perusahaan bermusyawarah, dan dimediasi oleh pemerintah. Sebab kalau nggak difasilitasi mereka bentrok bagaimana?”

Memang, pemetaan wilayah adat akan membangkitkan konflik di tengah masyarakat. “Pemetaan ini ‘kan membuka konflik supaya bisa diobatin. Dibuka dulu konfliknya, karena kalau konfliknya dipelihara akan timbul peras memeras. Tokoh masyarakat, pejabat datang ke perusahaan untuk minta uang. Saling memeras, itu namanya ekonomi biaya tinggi,” cetus Abdon.

Karena itu, timpal Prof. Dr. H. Ahmad Sodikin, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,Jatim, “Saya sarankan untuk daerah yang tidak ada sengketa didahulukan. Kemudian kita tinggal menangani derah-daerah yang memang di situ ada sedikit perbedaan antara masyarakat hukum adat maupun dengan peta Kementerian Kehutanan,”

Ratna Budi Wulandari, Arfi Zulta Hari Basuki