Rabu, 16 Februari 2023, berlokasi di Novotel Jakarta. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Perkumpulan HuMa mengadakan talkshow membahas kabar terbaru dari Peta Partisipatif wilayah adat dan desa dalam Kebijakan Satu Peta, pasca diterbitkannya Perpres 23 Tahun 2021. Talkshow ini mengundang beberapa kementerian, lembaga, dan Pemda, di antaranya ; Ditjen Bina Adwil Kemendagri, Kasubdit Pengukuran dan Pemetaan Bidang Kementerian ATR/BPN, Sekretariat Kebijakan Satu Peta, Badan Informasi Geospasial, Bupati Luwu Utara, Perwakilan Pemda Maros, Perwakilan Pemda Pelalawan, Ketua GTMA Kab. Jayapura, serta Kantor Pertanahan Kab. Konawe Utara.
Acara ini dibuat atas respon terbitnya Perpres 23 tahun 2021 tentang perubahan Perpres 9 tahun 2016 tentang Percepatan Kebijakan Satu Peta, serta pertanyaan yang muncul terkait bagaimana posisi peta partisipatif yang masyarakat sipil buat? Sampai saat ini sudah terkompilasi 26 juta hektar lebih peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat. Lalu apakah kebijakan satu peta masih bisa diharapkan menjadi resolusi permasalahan tumpang tindih yang ada di Indonesia?
Pertanyaan pertama ditujukan ke Safrizal ZA, Bina Adwil Kemendagri. Sejauh mana pengawalan dan pelaksanaan Permendagri 52 Tahun 2014 terkait pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat adat? Dalam kerangka itu bagaimana pengawalan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh Adwil dalam percepatan Pengakuan Masyarakat Adat? Sejauh mana mekanisme integrasinya terhadap kebijakan satu peta?
“Terhadap pedoman Permendagri 52 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, kita bekerjasama dengan Kementerian ATR/BPN kita komit untuk memberikan pedoman untuk pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Terhadap hasil sudah ada 26 juta Ha yang sudah dipetakan, kalau sudah ada kita tinggal mendorong kepada kantor KSP agar bisa masuk. Untuk yang 26 juta ini, dasar hukum penetapannya menggunakan dasar hukum apa. Sebelum masuk ke peta satu peta apakah ditetapkan oleh kepala daerah setempat atau petanya masuk ke one map. Seperti apa penggambaran tematik yang 26 juta Ha itu. Ini menjadi tantangan bagi kita. Kesulitan sendiri terhadap penggunaan hukum adat dan penggunaan teknologi. Apakah hukum adat dan teknologi ini memiliki korelasi atau tidak, ini juga menjadi tantangan bagi kita. Saya yakin banyak nilai-nilai adat yang tidak bisa dituangkan ke dalam teknologi karena satu dan lain hal. Yang 26 juta Ha itu akan tetap kita dorong di dalam kebijakan satu peta yang ada di KSP.” – Safrizal ZA.
Pertanyaan kedua ditujukan kepada Rocmat Darmawan, Kasubdit Pengukuran dan Pemetaan Bidang Kementerian ATR/BPN. Salah satu yang disinggung di Perpres 23/2021 ini ada IGT, Tanah Ulayat, yang walidatanya adalah ATR/BPN. Pertanyaanya adalah sejauh mana ATR/BPN dalam bekerja untuk meregistrasi atau mendata tanah-tanah ulayat ini? faktanya masih banyak terjadi tumpang tindih yang rentan akan konflik.
“Seyogyanya juga dari Direktorat Pengaturan Tanah Komunal yang menangani kegiatan ini. Secara aturan, sudah banyak aturan yang dibuat, namun dari sisi pemetaan kami memang belum fokus, karena rangkaian kami adalah rangkaian secara utuh, misalnya dari PTSL, pendaftaran tanah yang mungkin di dalamnya ada tanah-tanah ulayat di dalamnya. Dalam satu peta lengkap nantinya pasti kami akan mendapatkan objek-objek tersebut, hanya saja area tersebut masih abu-abu. Kami hanya bisa mendaftarkan bidang tanah yang memang ada kepemilikan perorangannya, tetapi untuk tanah ulayat yang batasnya belum jelas, kami buatkan nomor induk sementara. Kami belum berani menetapkan apakah di dalamnya ada satu atau dua tanah ulayat karena penyepakatan batas itu harus disetujui bersama oleh para pihak.” – Rochmat Darmawan.
Pertanyaan ketiga dituju kepada Lien Rosalina, Kapus Pemetaan dan Integrasi Tematik, BIG. Jika sudah keluar PITTI kemudian peta partisipatif belum masuk, Apakah itu akan berdampak signifikan terhadap masyarakat adat dan lokal yang sudah mengklaim wilayahnya melalui pemetaan partisipatif? Pertanyaan kedua, partisipasi masyarakat dalam IGT itu seperti apa? Kawan-kawan AMAN pernah masuk dalam Pokja, kemudian ada perubahan dan tidak ada ruang untuk kawan-kawan ini masuk dalam Pokja dan mendiskusikan, menyampaikan, apa yang sudah kita lakukan.
“Bagaimana peran peta partisipatif untuk wilayah adat. Disampaikan di Perpres 23/2021 sudah dibagi tanggung jawabnya, bahkan juga oleh KepKa BIG 38 juga sudah ditentukan mengenai kewalidataan IGT-nya, sehingga terbagi berdasarkan kewenangannya. Tanah ulayat atau komunal walidatanya ada di ATR/BPN, wilayah kelola MHA yang ada di pesisir walidatanya ada di KKP, dan penetapan status hutan adat berada di KLHK. Terkait dengan Pokja, memang untuk saat ini penetapan Pokja sudah tidak lagi melibatkan mitra atau pun Pakar, hanya kementerian lembaga, tetapi bukan berarti bahwa itu tidak melibatkan mitra pembangunan maupun pakar-pakar. Untuk saat ini, Pokja adat memang belum berjalan. Kalau kami, Pokja berjalan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Pada saat kementerian lembaga ada yang membutuhkan kerjasama antar lembaga kementerian dan masyarakat, kami di BIG sebagai sekretariatnya akan memfasilitasi. Kita terbuka, bukan berarti tidak ada di KepKa kemudian mitra tidak bisa berperan. Kami di sekretariat akan tetap melibatkan sesuai dengan substansi pembahasan yang diperlukan di dalam Pokja tersebut.” – Lien Rosalina.
Pertanyaan keempat ditujukan kepada Bupati Luwu Utara, Indah P. Indriani. Sudah sejauh mana peta partisipatif mendukung pembangunan pemerintah daerah, desa dan komunitas? Apa saja manfaat, keuntungan, dan tantangan kedepannya seperti apa?
“Kalau kita berbicara soal pemetaan partisipatif, manfaatnya terhadap pemerintahan pasti sangat besar, terutama dalam perencanaan dan penganggaran. Kalau pemetaan partisipatifnya sudah tuntas yang dilakukan oleh masyarakat tentunya juga akan digunakan oleh masyarakat itu sendiri, kami sangat terbantu dalam penyusunan program dan kegiatan yang akan dilakukan, terutama di desa-desa yang sudah tuntas pemetaanya. Dengan pemetaan partisipatif sebenarnya pemerintah sudah melibatkan masyarakat sejak awal, dimana masyarakat yang menentukan dan dia juga yang akan menggunakan, karena mereka mengenal dengan baik potensi yang ada di desanya dan penggunaan ruangnya juga mereka pahami dengan baik pula oleh masyarakat. Dengan adanya kejelasan dan kepastian, terutama terkait dengan tata batas desa, dan tata ruang yang ada di desa, maka akan sangat membantu kami dalam penetapan atau perencanaan pembangunan. Tantangan kedepan berdasarkan pengalaman kami yaitu lamanya waktu proses kegiatan pemetaan sampai dengan selesai, kemudian terkait dokumen yuridis pembentukan desa dan kelurahan yang sudah cukup lama itu sangat kurang, tantangan lainnya adalah terbatasnya peta dasar dengan tingkat ketelitian skala besar. Kami tetap optimis, paling tidak target kami sampai tahun 2024 pemetaan partisipatif di Kabupaten Luwu Utara.” – Indah P. Indriani.
Pertanyaan kelima ditujukan kepada Elphyna Situmorang, Ketua GTMA Kab. Jayapura. Setelah proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat di Kab. Jayapura, bagaimana data tersebut digunakan untuk memperkuat hak-hak masyarakat adat, khususnya dalam perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan ekonomi ke depan? Apakah ada dampak yang signifikan sebagai pembelajaran penting untuk kita semua?
“Guna mendukung pemetaan-pemetaan yang dilakukan, di dalam SK GTMA ada beberapa stakeholder yang masuk ke dalam sistem, yaitu, Tapem, Pertanahan, BRWA yang masuk di dalam sistem untuk membantu penetapan hutan adat dan batas-batas wilayah adat yang lainnya. Sampai saat ini Kabupaten Jayapura sudah 1.411,790,5 Ha yang ditetapkan menjadi hutan adat. Berkaitan dengan apa yang tadi sudah disampaikan, terkait dengan perencanaan ekonomi, Kabupaten Jayapura juga sudah mengoverlaykan antara tata ruang Kabupaten Jayapura dengan wilayah adat masing-masing yang saat ini ada di 16 wilayah adat. Baru-baru ini sudah ada beberapa daerah yang memang sudah ditetapkan hutan adatnya, yang secara aturan akan dikemanakan hutan adat ini, melalui BUMA (Badan Usaha Masyarakat Adat) yang secara otomatis akan bersinergi dengan tata ruang Kabupaten Jayapura. Berkaitan dengan daerah perkebunan, kedepannya sesuai dengan kesepakatan bersama masyarakat di 16 wilayah adat suku di Kab. Jayapura akan dikembangkan sesuai dengan potensi wilayah masing-masing. Ada beberapa yang ketika ditetapkan sebagai kampung adat akan mempermudah dalam hal tupoksi.” – Elphyna Situmorang.
Pertanyaan keenam ditujukan pada Imam Hanafi, Koordinator Nasional JKPP. Apa kontribusi pemetaan partisipatif terhadap kebijakan satu peta? Mengingat bahwa tujuan utama dari kebijakan satu peta adalah penyelesaian konflik dan bagaimana jika 26 juta Ha itu tidak masuk dalam peta tatakan?
“Sejak tahun 2011 pasca digagasnya kebijakan satu peta, JKPP dan kawan-kawan jaringan lainnya mencoba aktif untuk mengawal proses kebijakan satu peta ini. Memasukan nomenklatur tentang peta partisipatif agar terintegrasi dalam kebijakan dan agar metode pemetaan partisipatif juga mendapatkan payung hukum. Dan sebenarnya pemetaan partisipatif sendiri dilakukan berdasarkan persepsi masyarakat terkait ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan, ada wilayah desa secara administratif dan ada wilayah adat dalam konteks keadilan dan ada juga wilayah kelola yang menunjukkan keterlanjuran penguasaan ruang oleh masyarakat. Tantangannya kemudian adalah soal walidata, bagaimana walidata mengadopsi, menggunakan, memanfaatkan data-data yang berupa persepsi masyarakat ini terkait dengan ruang. Secara metodologi kita harus akui bahwa memang tidak seakurat tuntutan kebijakan. Adapun alat yang digunakan pada akhirnya semua data yang dihasilkan oleh masyarakat sipil dan NGO itu hanya indikatif dan peta itu butuh diverifikasi oleh pihak yang memiliki otoritas. Memang peta itu dibuat oleh masyarakat sipil yang tidak memiliki otoritas, tetapi itu merupakan usulan tentang perspektif masyarakat terhadap masalah, kendala, tumpang-tindih dan ada istilah masyarakat dalam kawasan hutan. Perspektif ini yang coba diangkat oleh peta partisipatif yang harapannya secara official dan sistemik diverifikasi oleh pihak walidata. Namun kemudian terkait wilayah adat dan masyarakat adat saat ini walidatanya justru tidak ada.” – Imam Hanafi.
Pertanyaan ketujuh ditujukan kepada Marcia, Sekretariat Kebijakan Satu Peta. Apakah kita masih bisa berharap bahwa kebijakan satu peta itu masih bisa menyelesaikan tumpang-tindih? kalau dilihat di dalam PITTI kemudian tidak ada peta partisipatif masuk. Sebagai contoh, misalkan ada satu program strategis nasional yang masuk dalam satu wilayah yang sebenarnya itu klaimnya masyarakat adat dan itu belum masuk, PITTI dilihatnya jadi abu-abu yang berdampak kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal.
“Kebijakan Satu Peta yang sudah diupdate Perpres 23 Tahun 2021, kita masih tetap konsisten. Peta-peta yang kita kumpulkan tersebut berupa IGT tematik dan walidatanya pun masih kementerian lembaga, kita masih belum membuka di luar dari kementerian lembaga. Selain kita ingin menyelesaikan tumpang-tindih, dengan kebijakan satu peta ini kita ingin memperbaiki tata kelola dan bagaimana menyiapkan peta yang baik yang bisa dipertanggung jawabkan dan dipergunakan oleh seluruh pihak. Terkait peta partisipatif tadi juga sudah dijelaskan oleh Ibu Lien juga peta partisipatif itu bukan IGT tetapi metode untuk mengumpulkan IGT tersebut dengan cara partisipatif. Dengan mendudukan seperti itu partisipatif itu harus dilakukan di hulu, di awal ketika akan disusun IGT tersebut. Kita berharap kementerian lembaga atau pemerintah daerah bekerjasama dengan pihak-pihak atau lembaga partisipatif ini agar apa yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa diakomodir dalam kebijakan satu peta. Kami sangat mengapresiasi sekali peta partisipatif yang sudah sebanyak 26 juta Ha yang sudah dipetakan dan rasanya sayang kalau tidak dimanfaatkan bersama tetapi memang cara pemanfaatannya ini yang harus sesuai prosedur yang ada.” – Marcia.
Acara diakhiri dengan pemberian Atlas Peta Partisipatif kepada para Narasumber. Diharapkan dengan adanya acara ini segala permintaan dan harapan masyarakat terhadap kebijakan satu peta dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan sesuai sasaran. Peta-peta yang sudah dibuat oleh masyarakat bisa dimasukkan ke dalam kebijakan satu peta agar penyelesaian tumpang tindih di Indonesia lebih cepat tercapai karena memang masyarakatlah yang merasakan dampak tumpang tindih ini serta merekalah yang mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan.
Add Comment