Konflik agraria tidak terjadi satu atau dua kali di Indonesia. Tercatat di negara yang mendapat sebutan agraris ini, konflik yang melibatkan masyarakat kelas bawah tersebut menimbulkan korban dan mencakup wilayah yang cukup luas. Sebagai contoh tedapat 472 konflik agraria dengan total wilayah seluas 2.860.977 hektare tahun 2014 lalu.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas petani, dalam hal ini petani kecil, kerap dirugikan. Seringkali masalah yang terjadi adalah hak mereka atas tanah lahan diambil oleh pemerintah maupun swasta. Untuk mengatasinya, berbagai solusi dijalankan mulai dari Focus Group Discussion (FGD), jajak pendapat hingga advokasi yang dilakukan secara akar rumput.
Saat ini pemerintah melanjutkan kebijakan satu peta (One Map Policy) untuk menghilangkan konflik atas penguasaan lahan yang selama ini masih terjadi. Belum adanya one map telah menimbulkan masalah antara pemerintah dengan pengusaha, pemerintah dengan masyarakat, pengusaha dengan masyarakat, bahkan antar sesama instansi pemerintah. Karena itu penerapan One Map Policy menjadi hal yang krusial termasuk untuk pelaksanaan pembangunan.
One Map Policy dibuat karena Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang dibangun selama ini tidak merujuk pada satu sumber rujukan peta dasar (peta rupabumi), sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan tumpang tindih lahan yang berpotensi memicu konflik sosial.
Masyarakat dan lembaga masyarakat sipil (Civil Society Organization/CSO) harus terlibat dalam pembuatan One Map agar kebijakan tersebut lebih efektif sebagai solusi konflik agraria. Selama ini konflik agraria kerap terjadi akibat adanya berbagai versi peta rujukan yang semuanya merampas dan merugikan hak masyarakat.
Imam Hanafi, Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menegaskan bahwa tidak ada One Map Policy tanpa integrasi peta partisipatif. Masyarakat atau komunitas mempunyai klaim atas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya berdasarkan sejarah dan asal usulnya. “Kerangka penting dalam One Map adalah peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat. Hal ini sebagai verifikasi bagi validitas data, penyelesaian konflik dan tumpang tindih lahan. Selain itu juga harmonisasi dalam pengelolaan sumber daya alam,†tambahnya.
Jika peta partisipatif dan keterlibatan masyarakat tidak diakomodasi, maka One Map yang dihasilkan tidak akan efektif karena terus mengabaikan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik agraria. Kenyataannya, sampai saat ini, belum ada kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab untuk membuat peta seperti peta partisipatif ini.(EVA)