Oleh Imam Hanafi ( Divisi Advokasi dan Jaringan, JKPP)
TIDAK ADA PROSES PENGUKURAN ATAU PEMETAAN YANG BETUL-BETUL AKURAT
Kalimat itu didapat dalam obrolan santai dengan Mahasiswa Doktoral UGM (waktu itu, 2018) saat terlibat kerja sama dengan ATR-BPN dalam membangun pilot projek Registrasi Pertanahan secara partisipatif (Participatory Land Registration).
Namun coretan ini, lebih pada catatan untuk pemetaan partisipatif secara umum, bukan pemetaan bidang/kadastral.
Peta partisipatif lahir dari proses belajar bersama masyarakat untuk mengetahui detail suatu wilayah, umumnya wilayah yang terkait dengan ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan masyarakat. Peta partisipatif menjadi Bahasa baru bagi masyarakat dalam menyampaikan dan menceritakan kondisi kewilayahan melalui system informasi spasial. Informasi peta partisipatif ini merupakan data dan informasi pembanding bagi para pihak terkait status dan fungsi ruang berdasarkan perspektif masyarakat.
Pemetaan partisipatif menjadikan masyarakat sebagai actor utama dalam membuat data dan informasi kewilayahan. Identifikasi dan penggalian informasi social, pengukuran lahan dan survey wilayah, pengolahan data spasial dan penggambaran peta, semua dilakukan oleh masyarakat. Alat survey data spasial umumnya menggunakan Global Positioning System (GPS) yang relative sederhana, mudah dan murah, biasanya handheld GPS. Partisipasi masyarakat menjadikan proses pemetaan dan penyediaan data spasial di suatu daerah berjalan cepat.
Peta partisipatif umumnya dibuat dengan prinsip yang lebih menekankan pada proses social, baik tingkat partisipasi maupun kesepakatan masyarakatnya. Dengan metode ini, diharapkan penyediaan data spasial bisa lebih mudah, murah, cepat dan akurat secara social, tidak semata menekankan pada alat dan teknologi spasialnya. Kecanggihan alat dan teknologi, tanpa proses social dan partisipasi masyarakat, cenderung tidak berkontribusi positif bagi proses penyelesaian konflik tenurial, kecuali untuk klaim sepihak.
Terkait dengan hal tersebut, umumnya proses pemetaan partisipatif di Indonesia lebih banyak membangun proses diskusi dan interaksi dengan dan antar masyarakat. Proses diskusi ini akan menghasilkan data kewilayahan dan fakta tenurial dalam suatu wilayah masyarakat, yang dituangkan dalam surat kesepahaman (atau ketidak sepahaman). Poin pentingnya adalah, masyarakat menuangkan pengetahuan tentang ruang hidupnya, mencatat dan mendokumentasikan (sesuai dengan kesejarahan, status, fungsi) dan membangun kesepahaman/kesepakatan antar masyarakat.
Bayangkan jika masyarakat memiliki pengetahuan tentang kewilayahannya, kemudian mendokumentasikannya sendiri, membangun komunikasi dan musyawarah di internal masyarakat dan antar masyarakat, lalu dilakukan secara massive diseluruh Indonesia.? Masa iya 5 tahun ga selesai metain 1 desa.?
Maka semua desa akan memiliki data dan informasi tentang desa secara detail dan valid, potensi konflik batas antar desa akan mudah diketahui, ada banyak kader desa yang memiliki kemampuan baca peta dan membuat peta sehingga proses updating data bisa dilakukan sendiri oleh kader desa untuk masa yang akan datang.
Belum lagi jika proses pemetaan partisipatif ini menghasilkan peta thematic lain, misalnya peta rawan bencana, peta sumber-sumber potensi dan pengembangan ekonomi, peta kearifan budaya, peta rencana pembangunan desa, peta status kepemilikan lahan, dan thematic lain.? jika setiap desa memiliki 5 (lima) orang saja (biasanya cenderung lebih) sebagai kader spasial dan kartografi desa, maka setidaknya Indonesia akan memiliki 375.000 orang pemeta partisipatif. Asumsi jumlah desa 75.000. pemerintah dan pihak lain tinggal memfasilitasi dan menyiapkan struktur, system dan mekanismenya saja.
Catatan : Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Jumlah tersebut terdiri atas 75.436 desa (74.517 desa dan 919 nagari di Sumatera Barat), kemudian 8.444 kelurahan serta 51 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT). Katadata-dot-co-id dengan judul [“Berapa Jumlah Desa di Indonesia?”], https*//databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/06/13/berapa-jumlah-desa-di-indonesia).
LISENSI? tentu saja pemeta partisipatif tidak memiliki lisensi dan sesungguhnya memang TIDAK memerlukan itu. Karena bahkan bagi pemeta pemilik lisensi sekalipun, apapun alat yang digunakan, lisensi kartografi apapun yang dimiliki, pada akhirnya semua peta yang dibuat akan menghasilkan peta indikatif belaka. Karena otoritas ada pada walidata! Artinya, dengan kekuatan otoritas (walidata), seburuk apapun data dibuat dan diproduksi, itu menjadi SAH dan legal, walau konflik lahan tetap terjadi.
Banyak desa sudah berinisiatif melakukan pemetaan partisipatif. Menyediakan dan mendokumentasikan informasi kewilayahanya secara mandiri untuk membantu pemerintah. Namun, upaya ini masih terkendala dengan debat wacana : akurasi, alat dan teknologi, lisensi, pengakuan dan otoritas. Sehingga konon sulit untuk di sinkronisasi dan diintegrasikan ke dalam peta pemerintah (one map policy).
Jika tidak ada alat ukur dan proses pengukuran yang betul-betul akurat, untuk kepentingan praktis, bisakah hal itu di nomorTIGAkan (nomor 3 kan) dulu. Setelah identifikasi, verifikasi, lalu diregistrasi. Setidaknya peta partisipatif bisa menjadi peta indikatif yang selanjutnya diproses memalui system dan mekanisme structural untuk menjadikanya definitive.
Eni why en buy de why… dalam sejarahnya peta memang alat kekuasaan dan penguasaan. Tak lepas dari politik dan kepentingan. Namun, bisakah Indonesia memiliki setidaknya satu peta, satu data, yang mengakomodir perspektif keruangan masyarakat. Identifikasi dan verifikasi bersama masyarakat. Berharap pada lisensi dan akurasi alat saja dalam menyediakan data spasial desa, adalah mimpi 75.000 desa yang tak terwujud.
Tulisan ini telah diposting di https://www.facebook.com/imam.hanafi
Add Comment