Konflik agraria di indonesia merupakan akumulasi dari ketimpangan dan ketiadakadilan dalam pemanfaatan dan pengelolan sumber daya alam. Akar masalah penyebabkan terjadinya persoalan agraria di indonesia yaitu kerangka dasar pembangunan di indonesia yang condong eksploitasi terhadap sumber daya alam secara masiv dan politik egosektoral (kepentingan) juga merupakan salah satu pemicu terjadi ketipangan tersebut yaitu tidak singronasinya antar kebijakan yang dilahirkan dari setiap sektor kelembagaan/kementrian negara.
Dari analisa data JKPP tahun 2013, bahwa ± 5.263.058,28 Ha (hasil Pemetaan partisipatif)wilayah kelola masyarakat saat ini mengalami tumpang tindih dengan baik kawasan hutan dan konsesi perijinan pertambangan maupun HGU perkebunan. Data menyebutkan bahwa, 81,4 % wilayah kelola masyarakat tumpang tindih dengan dengan kawasan hutan dengan mencapai luasan ± 4,270,578.55 ha sedangkan tumpang tindih konsesi perijinan baik HGU Perkebunan dan IUP Tambang yaitu mencapai luasan ± 2.506.498,36 ha.
Dampak tumpang tindih diatas menyebabkan konflik-konflik atas sumber daya alam antara wilayah kelola masyarakat dengan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan. Data menujukan sampai tahun 2013, jumlah konflik yang diakibatkan hadirnya perusahaan kelapa sawit telah mencapai 664 kasus (Sawit Watch) dan untuk konflik agraria sejumlah 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1.281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga (Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enam kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) merupakan program pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Kebijakan One Map merupakan implementasi dari Undang-Undang No.4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Badan Informasi Geospasial (BIG) memiliki 3 mandat yaitu (1) membangun Informasi Geospasial Dasar (IGD), (2) Membina penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga(K/L) lain dan (3) Membangun Infrastruktur Jaringan Informasi Geospasial.
Terbitnya Perpres No. 14/2014 mengenai Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) mengamanatkan BIG menjadi penanggung jawab pembangunan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN). Perpres ini berfungsi sebagai sarana pertukaran data spasial dan untuk penyebarluasan data spasial antara semua pihak terkait baik pemerintah maupun non pemerintah baik di pusat maupun daerah.
Intergrasi peta partisipatif yang dimaksud oleh jkpp kedalam one map policy adalah proses pengakuan peta partisipatif guna memastikan kepemilikan (hak) dan penguasaan ruang. Tujuan integrasi peta partisipatif yaitu mendorong peta partisipatif kedalam kebijakan ne map policy guna memverifikasi peta-peta pemerintah atau sektoral dan juga sebagai salah satu upaya untuk mewujudkanya Peta Partisipatif mampu setara dengan peta-peta pemerintah/sektoral.
Integrasi peta partispatif kedalam kebijakan satu peta dimaksudkan bukan hanya peta partisipatif diterima oleh pihak kementerian/lembaga yang dilihat dari sisi aspek One Reference, One Standar, One Data Base, Dan One Geoportal justru penting juga dilihat dari sisi proses pembuatan mapun publikasinya. Dalam memastikan peta partisipatif dapat diakomodir dalam kebijakan one map dibutuhkan kelembagaan legal (tempat formal) yang bisa bersanding/bertarung dengan kementerian/badan/lembaga lain yang disebut dengan Wali Data
[wpdm_file id=56]