Pemetaan Partisipatif

Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang

Beberapa dari kita kerap mendengar, Ruang Terbuka Hijau, Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, RTRW atau RDTR. Semua itu adalah istilah dalam proses penataan ruang yang diatur dengan undang-undang di Indonesia. Peristilahan itu merupakan sebagaian kecil saja dari sistem penataan ruang yang lebih kompleks karena menyangkut satu negara seluas Indonesia. Defenisi yang diberikan undang-undang tentang Penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.” Jadi, penataan ruang menurut aturan yang berlaku adalah dalam konteks perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Untuk selanjutnya dapat dibaca lebih detil dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (“UU Penataan Ruang”)

Tujuan penataan ruang oleh Negara sesuai dengan UU Penataan Ruang adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaan penataan ruang, Negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini, secara nasional kewenangan penataan ruang dipegang oleh Pemerintah yang berkedudukan di Jakarta melalui menteri yang mengurus penataan ruang. Sementara di daerah, otoritas penataan ruang berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Sekalipun otoritas penataan ruang diberikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tetapi ruang untuk berpartisipasi tetap diberikan kepada warga negara. Hak untuk berperan serta secara aktif ini diatur dalam Pasal 60 UU Penataan Ruang. Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
  • mengetahui rencana tata ruang;
  • menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
  • memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
  • mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
  • mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
  • mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Aturan operasional dalam penataan ruang yang melibatkan masyarakat dapat dibaca dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (“PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang”). Dalam Pasal 1 angka 8 PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang, didefenisikan sebagai berikut: “Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang.” Dengan melihat pada ketentuan ini, individu atau kelompok diberikan ruang yang sah secara hukum dalam penataan ruang yang partisipatif.
Secara khusus mengenai kelompok, kita dapat melihat bahwa masyarakat hukum adat adalah salah satu bentuk kelompok masyarakat yang diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam penataan ruang. Hal yang sama dapat berlaku pada kelompok masyarakat lainnya yang bisa berbentuk komunitas lokal atau kelompok desa ataupun kelompok lainnya sepanjang menjadi pemangku kepentingan dalam penataan ruang.
Lebih spesifik lagi dalam Pasal 7 ayat (2) PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang, ada beberapa kriteria penting dalam pelibatan masyarakat, yaitu:
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang, yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang, dan/atau yang kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.
Jadi, berdasarkan pasal ini, masyarakat yang wajib dilibatkan adalah:
  • yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang;
  • yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang; atau
  • yang kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.
Partisipasi masyarakat tersebut dilaksanakan secara menyeluruh dalam setiap tahap perencanaan ruang termasuk perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Hal ini merupakan penjabaran Pasal 65 ayat (1) UU Penataan Ruang, yaitu: ” Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.”
Selanjutnya, dalam Pasal 65 ayat (2) UU Penataan Ruang, disebutkan:
Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Hal ini, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9 PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang, yaitu: “Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.” Dipertegas lagi dalam Pasal 7 ayat (1) PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang, yaitu: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam perencanaan tata ruang dapat secara aktif melibatkan masyarakat.” Jadi, masyarakat tidak hanya berhenti pada tahap perencanaan, melainkan harus disertakan juga dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang baik di pusat maupun di daerah.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat tersebut diperinci dalam Pasal 6 PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang, yaitu:
Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa:
a. masukan mengenai:

  1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
  2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
  3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;
  4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
  5. penetapan rencana tata ruang.
b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

Selain disebutkan bentuk-bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang, dibuka juga peluang bagi masyarakat untuk melakukan kerja sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan penataan ruang.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (“PP Peneyelenggaraan Penataan Ruang”) diterangkan lebih lanjut mengenai tahapan dimana masyarakat itu harus dilibatkan dalam penataan ruang. Dalam Pasal 20 PP Penyelengaraan Penataan Ruang disebutkan:
Prosedur penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) meliputi:
a. proses penyusunan rencana tata ruang;
b. pelibatan peran masyarakat dalam perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan
c. pembahasan rancangan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan.

Dengan demikian jelaslah bahwa pelibatan peran serta masyarakat itu merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyusunan rencana tata ruang dan pembahasan rancangan tata ruang tersebut.

Dari penelusuran undang-undang di atas, terlihat jelas bahwa keterlibatan masyarakat itu adalah sesuatu yang wajib. Masyarakat sendiri tentu harus mengisinya secara aktif. Selain dari kebutuhan masyarakat sendiri atas ruang hidup, juga karena masyarakat itu sendirilah yang mengetahui apa saja informasi yang terkandung di dalam ruang kelolanya itu. Di beberapa tempat, pengorganisasian kelompok masyarakat dalam penataan ruang terkonsolidasi dalam Pemetaan Partisipatif. Dimana, Pemetaan partisipatif merupakan proses membangun kesadaran dan kesepakatan bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat atas ruang kelolanya,pemberdayaan masyarakat, proses transformasi pengetahuan antar generasi, dimaksudkan untuk mempertahankan hak-hak dasar masyarakat lokal dan masyarakat adat melalui pembuktian penguasaan ruang kelola setempat (tradisional).

Salah satu prinsip penting dalam Pemetaan Partisipatif adalah Prinsip Kesatuan yaitu:

Hasil pemetaan partisipatif merupakan satu kesatuan yang terdiri dari peta batas wilayah kelola atau wilayah adat, penggunaan lahan, dokumentasi sosial budaya, dan berita acara kesepakatan tata batas.
Sebagai sebuah proses, Pemetaan Partisipatif yang dilakukan oleh komunitas baik Masyarakat Adat ataupun kelompok masyarakat lainnya menrupakan sebuah konsep penataan ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaaatan dan pengendalian pemanfaatan di dalam internal komunitas tersebut. Rangkaian proses ini mempersyaratkan sebuah pengambilan data yang paling tidak sama dengan data yang dibutuhkan dalam suatu penataan ruang yang diatur oleh negara. Selama ini, peta dasar yang dipergunakan dalam rangkaian Pemetaan Partisipatif berasal dari lembaga negara yang berkompeten untuk mengeluarkannya.

Oleh karena itu, proses ini memiliki dasar yang kuat untuk disinergikan ke dalam penataan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan alasan:
i. Merupakan kategori masyarakat yang wajib dilibatkan secara aktif sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang, yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang; yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang; atau yang kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang;
ii. Memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data meliputi: data wilayah administrasi; data fisiografis; data kependudukan; data ekonomi dan keuangan; data ketersediaan prasarana dan sarana dasar; data penggunaan lahan; data peruntukan ruang; data daerah rawan bencana; sebagaimana dibutuhkan sesuai persyaratan undang-undang;
iii. Hasil Pemetaan Partisipatif sepanjang memuat data yang dibutuhkan dalam penataan ruang akan menjadi masukan yang sangat kaya dalam proses penataan ruang yang dilakukan oleh Pmerintah/Pemerintah Daerah dan wajib ditampung sebagai masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP Peran Serta Masyarakat dalam Penatan Ruang.

Sumber : Sandoro Purba (http://sandopalos.blogspot.co.id/2016/07/partisipasi-masyarakat-dalam-penataan.html)