Pemetaan Partisipatif

Pegiat Lingkungan Desak Kasus Agraria di Sulteng Segera Dituntaskan

Perkebunan sawit yang dikelola tidak benar, tidak hanya merusak hutan dan lingkungan namun juga kerap merampas hak-hak masyarakat. Foto: Rhett Butler

Sekitar 50-an massa yang mengatasnamakan Front Penyelamatan Kedaulatan Rakyat (FPKR) menggelar unjuk rasa menuntut permasalahan agraria di Sulawesi Tengah (Sulteng) segera dituntaskan. Mereka berunjuk rasa di Kantor Mapolda Sulteng, Selasa, (23/12/2014).

Pada saat demo berlangsung, massa memampang poster Murad Husain yang diberikan tanda silang merah. Salah satu tuntutan massa adalah mendesak kepolisian segera menangkap dan mengadili Murad Husain, pemilik perusahaan sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng Syahrudin Ariestal Douw mengatakan, Murad Husain merupakan pengusaha perkebunan papan atas di Sulteng. Sejak 1996, PT. KLS sudah mengantongi hak guna usaha (HGU) dengan nomor 15/HGU/1991 tanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar. Lewat program transmigrasi suaka mandiri dengan pola agro estate, PT. KLS melepaskan 270 hektar lahan untuk pembangunan transmigrasi di Desa Singkoyo.

Tetapi, faktanya, perusahaan ini melakukan penggusuran lahan petani di Desa Piondo, Singkoyo, Moilong, Tou, Sindang Sari, Bukit jaya dan beberapa desa lainnya. “Secara keseluruhan, tanah petani yang dirampas dan digusur seluas 7.000 hektar.”

PT. KLS juga bersama PT. Inhutani I membentuk perusahaan patungan bernama PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP), untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Direktur PT. BHP adalah Erwin Yatim yang tidak lain adalah menantu Murad Husain yang sekarang menjabat sebagai wakil Bupati Banggai dan Ketua DPC PDI-P Kabupaten Banggai.

Dalam perjalanannya, Inhutani I melepaskan seluruh sahamnya yang hingga kini dikusai penuh oleh PT. KLS. Berdasarkan hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan tanggal 14 Februari 2008, PT. BHP memiliki kewajiban yang telah jatuh tempo sejak 2007 sebesar Rp 11.924.667.744,72 dan hingga sekarang tidak di kembalikan.

Etal mengaku telah menemukan fakta bahwa PT. KLS telah mengalihfungsikan lahan seluas 562,08 hektar menjadi perkebunan sawit. Modusnya, menyuruh masyarakat merambah kawasan untuk dijadikan perkebunan sawit dengan memberikan modal dan bibit. Kemudian, masyarakat disuruh mengurus surat keterangan pemilikan tanah dari kepala Desa Sinorang dan disetujui oleh Camat Batui di Kabupaten Banggai.

Kasubdit Tipiter Diskrimsus Polda Sulteng, AKBP, Edwan Syaiful, mengakui pihaknya telah menerima langsung tiga dokumen dari Jatam Sulteng terkait dengan tuntutan massa aksi.

“Dokumennya sudah kami terima dan akan dipelajari dengan teliti. Hasilnya tergantung dengan alat bukti yang akan ditemukan,” tandasnya.

Para pengunjuk rasa memampang poster wajah Murad Husain yang diberikan tanda silang merah. Mereka meminta agar pemilik PT. KLS itu ditangkap dan diadili. Foto: Syarifah Latowa

Kasus agraria meningkat

Adi Prianto, salah seorang pengunjuk rasa dan juga Ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) Sulteng menambahkan, permasalahan agraria di Sulteng terus meningkat. Konsepsi pembangunan berbasis penguasaan tanah skala luas lewat konsesi perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan tanaman komoditi pasar merupakan pemicunya.

“Salah satu penyumbang konflik agraria di Sulteng adalah investasi melalui konsesi HPH, tambang, dan perkebunan skala besar yang tersebar hampir di seluruh kabupaten yang ada di Sulteng.”

Direktur Walhi Sulteng, Ahmad Pelor menambahkan, hingga saat ini tercatat, sekitar 14 perusahaan HPH yang aktif dengan areal kelola seluas 1.011.445 hektar dan 11 unit perusahaan yang beroperasi aktif dengan areal kelola seluas 844.835 hektar.

“Terdapat juga 15 perusahaan perkebunan yang mengantongi HGU dengan total luas areal kelola 93.135 hektar serta izin pemanfaatan kayu (IPK) dan IPK-TM (Izin Pemungutan Kayu-Tanah Milik) seluas 4.035,39 hektar,” terangnya.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/12/25/pegiat-lingkungan-desak-kasus-agraria-di-sulteng-segera-dituntaskan/