Kerjasama Komunitas Pappuangan Padang – LAPAR Makassar – JKPP Bogor
Polman, 27 Desember 2005
Pelan tapi pasti, tudingan sebagian orang bahwa otonomi daerah bakal menyisahkan sejumlah persoalan kini satu persatu mulai dirasakan. Kemandirian masyarakat lokal atau penduduk desa yang menjadi ruh dari pemberlakukan otonomi daerah sama sekali hilang dan tak tersentuh dari proses perjalanan otonomi daerah sampai saat ini. Pemberian kewenangan atau otonomi desa yang merupakan hak bawaan sama sekali tidak tercermin dari praktik setiap pemerinah daerah dalam merumuskan dan mengimplememtasikan program pembangunan di tingkat daerah.
Kenyataan di atas, dalam prosesnya justru membenturkan antar kepentingan masyarakat lokal dengan pemerintah daerah dalam hal memandang siapa sebenarnya pemilik sumber daya alam pada daerah tertentu, siapa yang berhak menentukan model pengelolaan pada daerah tersebut. Karena sebagian pemerintah daerah masih mewarisi watak dari pemerintahan orde baru yang sentralisme, maka momentum otonomi daerah`tidak dijadikan untuk memperkuat masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam mereka, akan tetapi justru atas dalih peningkatan sumber pandapatan asli daerah (PAD) lalu pemerintah mengundang sejumlah investor dari luar untuk menanamkan investasinya yang pada nantinya menggusur dan merampas hak milik masyarakat lokal. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh komunitas Pappuangan Padang menghadapi rencana Pemerintah Daerah Polewali Mandar, Sulawesi Barat yang akan membuka usaha pertambangan emas di daerah mereka.
Sejarah Komunitas
Masyarakat Pappuangan Padang meyakini bahwa pemimpin pertama mereka bernama Lisse’. Suatu ketika Lisse’ menghadap ke Arajang Balanipa (Kerajaan Balanipa) untuk meminta pemerintahan otonom dalam mengatur masyarakat dan wilayah mereka, dan oleh Raja Balanipa menyetujuinya. Sejak saat itulah, masyarakat Pappuangan Padang secara mandiri mengembangkan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang tidak dipengaruhi oleh arajang Balanipa yang pada saat itu menjadi penguasa di tanah Mandar, bahkan Pappuangan Padang mempunyai peranan penting dalam arajang Balanipa dimana setiap keputusan yang akan diambil oleh mara’diya (raja) Balanipa harus mendapat persetujuan dari komunitas Pappuangan Padang.
Dalam pergaulan sehari-hari dan pengaturan kemasyarakatan, orang padang dipimpin satu orang pimpinan adat yang disebut dengan Pappuangan. Dalam menjalankan tugasnya, Pappuangan dibantu oleh beberapa pejabat dengan tugas masing-masing diantaranya adalah Kali’ yang mengatur urusan keagamaan, So’Bo yang mengatur masalah pertanian, Para sebagai juru bicara Pappuangan, Sando yang menangani masalah kesehatan dan pelayanan umat dan Doja’ yang mengatur masalah dana. Selain itu, Pappuangan juga dibantu oleh Tomabubeng yang selain mempunyai fungsi eksekutif yakni mengatur urusan pemerintahan juga mempunyai fungsi legislatif yakni mengontrol kerja Pappuangan. Dalam hal ini terdapat 3 orang Tomabubeng yakni Tomabubeng Calo untuk wilayah Calo, Tomabubeng Batu Aor dan Tomabubeng Lembang.
Seiring dengan pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan desa tahun 1979, saat ini wilayah kekuasaan Pappuangan Padang kemudian terbagi ke dalam dua pemerintahan administratif pedesaan, yakni Desa Ongko dan Desa Suruang. Menurut pengakuan Pappuangan Burhan bahwa wilayah adat Pappuangan Padang meliputi seluruh wilayah di desa Ongko dan dua Dusun di Desa Suruang yakni Dusun Sappokayang dan Dusun Banua Padang.
Di Desa Ongko umumnya penduduknya adalah komunitas Pappuangan Padang yang bermukim dan tersebar di tujuh dusun yang masuk dalam wilayah adat Pappuangan Padangan. Jumlah penduduk di Desa Ongko sebanyak 1.340 pria dan 1.547 wanita, sedang jumlah KK sebanyak 865. Mayoritas penduduknya sebagai petani kelapa dan coklat, dan hanya sebagian kecil yang menjadi PNS. Sedang ibu-ibu banyak bekerja sebagai pentenun sutra.
Tradisi Komunitas Pappuangan Padang
Laiknya sebagai komunitas lokal atau masyarakat adat, Pappuangan Padang juga memiliki beberapa ritual dan tradisi yang sampai saat ini masih terjaga dan dijalankan secara turun temurun. Meskipun disadari bahwa banyak sudah dari tradisi itu yang telah mengalami invensi dan berubah, baik karena dinamika dari masyarakat padang secara alami berhadap dengan dunia luar, maupun karena adanya tekanan dan serangan dari luar yang mengakibatkan tradisi dan ritual itu berubah bahkan hilang sama sekali.
Berkaitan dengan sistem tenurial mereka, orang padang mengenal sistem pemilikian tanah secara komunal yang pengaturannya oleh Pappuangan berdasarkan hukum adat yang berlaku. Karenanya dalam komunitas Pappuangan Padang tidak diboleh menjual tanah, sehingga pemilikan tanah secara pribadi dengan sertifikasi tidak ada.
Beberapa tradisi yang masih dijalankan diantaranya adalah Maccera Litaq. Ritual Maccera Litaq dilakukan setiap enam tahun atau delapan tahun sekali, ritual ini dimaksudkan agar kesuburan tanah tetap terjaga sehingga tumbuh-tumbuhan dan tanaman dapat tumbuh subur. Selain itu, untuk setiap tahun di bulan Rajab mereka juga melakukan ritual mandi adat. Ritual ini dimaksudkan untuk mencegah musibah misalnya kekeringan yang berkepanjangan.
Dalam keyakinan Pappuangan Padang bahwa semua tradisi dan ritual tersebut harus dilakukan, karena bila tidak dilakukan atau dilakukan tapi tidak sempurna, maka mereka bakal mendapatkan musibah atau malapetaka, sebagai pengakuan Pappuangan bahwa di masa pergolakan DI/TII, mereka dilarang untuk menjalankan tradisi atau ritual tersebut, sehingga banyak dari anak-anak mereka yang mengalami sakita panas dan selama 40 hari banyak meninggal. Kejadian inilah yang membuat mereka mati-matian untuk mempertahankan tradisi tersebut meskipun mendapat tantangan dari pihak luar seperti yang terjadi pada tahun 2003, dimana polisi membubarkan upacara ritual mereka.
Inisiasi Pemetaan
Inisiasi untuk melakukan pemetaan wilayah adat berangkat dari kesadaran mereka akan ancaman dari pihak luar yang senantiasa mengintai dan melirik potensi sumber daya alam mereka. Keyakinan ini terutama muncul dengan adanya rencana pemerintah Kabupaten Polman untuk mengembangkan sejumlah proyek pembangunan dengan mengundang investor. Seperti yang tertera dalam nota kesapahaman (MOU) antar bupati Polman dan Konsorsium Indonesia-Malaysia (CMI-Malindo) tentang pengembangan investasi di Kabupaten Polman, dimana Desa Ongko dan Desa Suruang ditetapkan sebagai daerah investasi pertambangan emas.
Kenyataan di atas tentu membuat masyarakat Pappuangan Padang sangat khawatir, karena secara sepihak bupati telah menyepakati proyek pertambangan yang secara pasti akan menggusur mereka dari wilayah adat. Dalam pertemuan adat yang diadakan khusus untuk membahas soal rencana pertambangan tersebut, menghasilkan kesimpulan bahwa meskipun pertambangan memberikan manfaat ekonomi, akan tetapi akan menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi kelangsungan hidup, lingkungan dan anak cucu mereka. Karenanya beberapa wakil dari pemangku adat mendatangi kantor DPRD Polman untuk menyatakan sikap bahwa mereka menolak rencana pertambangan di wialyah mereka. Selain itu mereka juga menghentikan proses pengambilan sampel yang dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan pihak investor.
Kuatnya arus dari luar yang bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam orang Pappuangan Padang membuat mereka harus lebih waspada dan berupaya keras untuk senantiasa menguatkan komunitas mereka. Salah satu bentuknya adalah rencana mereka untuk memetakan wilayah adat mereka yang selama ini memang belum pernah mereka lakukan. Dalam musyawarah adat yang dilakukan bulan September 2005 dihasilkan kesepakatan bahwa adapun tujuan dari rencana pemetaan ini antara adalah untuk mempertahankan eksistensi adat dari pihak luar, untuk penataan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Pappuangan Padang.
Pelaksanaan Pelatihan Pemetaan
Pelaksanaan pemetaan telah menjadi keputusan adat yang diputuskan dalam musyawarah adat yang dihadiri oleh semua pemangku adat dan pemerintah desa. Sebagai rangkaian dari kegiatan pemetaan ini diadakan pelatihan pemetaan pada tanggal 5 s/d 10 Desember yang difasilitasi oleh kawan Imam dari JKPP Bogor.
Pelatihan ini berlangsung atas swadaya masyarakat yang menyiapkan akomodasi dan komsumsi pada peserta pelatihan. Meskipun pelatihan ini dipusatkan di kantor Desa Ongko, akan tetapi hanya pada siang hari, dan malam harinya pelatihan diadakan di rumah penduduk, karena di kantor Desa belum ada listrik.
Beberapa kesimpulan berkenaan dengan rencana pemetaan yang dihasilkan dalam pelatihan antara lain bahwa tujuan dari pemetaan ini, pada nantinya akan digunakan dalam hal mengembangan ekonomi komunitas Pappuangan Padang, rencana sertifikasi kawasan adat Pappuangan Padang, untuk komunikasi dengan pihak luar dan pemerintah, dan sebagai media transformasi kepada genarasi mendatang serta sebagai alat mendesakkan lahirnya PERDA pengakuan terhadap Komunitas Pappuangan Padang. (Idham â€bhotghelâ€Arsyad)