RMOL. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyaÂtakan hutan adat bukan hutan negara, pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk meÂlindungi masyarakat adat yang tersebar di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berharap, putusan MK tersebut menjadi momenÂtum pengembalian hak-hak masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK harus mampu menunjukkan kepeduÂlian dan komitmen besar terÂhadap hak-hak masyarakat adat. “Komitmen tersebut telah tertuang dalam Nawa Cita. Ada harapan baru pada pemerintahÂan Indonesia sekarang. Kami optimis dan tetap meminta peÂmerintah agar secepat mungkin menghilangkan kasus-kasus kriminalisasi masyarakat adat yang telah terjadi,” katanya daÂlam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
AMAN mendesak agar peÂmerintah mengambil langkah-langkah cepat penghentian kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat. “Beberapa langkah tersebut di antaranya segera dibentuknya Satgas Masyarakat Adat dan dijadiÂkannya Putusan MK No. 35 seÂbagai pertimbangan mendasar dalam proses-proses penyusuÂnan regulasi dan kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Satgas Masyarakakat Adat penting direalisasikan untuk mempercepat proses-proses pengakuan hukum masyarakat adat termasuk didalamnya percepatan pembahasan danpengeÂsahan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA) dan mempersiapkan pembentukan Komisi Masyarakat Adat.
“Pembentukan satgas juÂga berfungsi penting dalam mempercepat proses-proses pengampunan dan pembebasan warga masyarakat adat yang dikriminalisasi oleh negara karena mempertahankan hak atas wilayah adatnya,” paparnya.
Abdon menerangkan, dalam putusannya MK menyatakan hutan adat merupakan satu kesatuan dengan wilayah adat. Pengembalian hak masyarakat adat mengelola wilayahnya sendiri dua tahun lalu meruÂpakan tonggak pengembalian hak-hak masyarakat adat yang lebih luas. “Namun sayangnya belum semua jajaran aparat pemerintah memahami bahÂwa hak-hak masyarakat adat yang banyak dirampas harus dikembalikan dan dilindungi,” sebutnya.
Pihaknya mencatat telah terjadi 25 kasus kriminalisasi masyarakat adat yang menjerat 33 orang dengan mengunakan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) yang dikeÂluarkan setelah Putusan MK. No. 35.
“Sekarang setelah dua tahun berlalu sejak Putusan MK No. 35 yang bersejarah, kita memÂbutuhkan orang-orang yang lebih berkomitmen di pemerÂintah dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat. Ini meruÂpakan momentum yang tepat menjalin rekonsiliasi negara dan masyarakat adat dengan segera membentuk Satgas Masyarakat Adat dan menghentikan berbaÂgai bentuk kekerasan dan krimiÂnalisasi terhadap masyarakat adat,” tandasnya.
Peneliti dari Epistema Institut, Yance Arizona, menamÂbahkan putusan MK no. 35 itu merupakan titik penting dalam perjuangan pengakuan keÂberadaan masyarakat adat dan hak-haknya. “Hutan adat berada di atas hutan negara, dan putusan tersebut meluruskan konsep penÂguasaan tanah di dalam kawasan hutan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, berdasarkan putusan MK tersebut Pemerintah Daeran dan Peraturan Daerah memegangperanan penting dalam pelakÂsanaan Putusan MK 35. Pemerintah Pusat bahkan MK telah menyerahkan tanggung jawab kepada Daerah. “Jika kita meliÂhat sisi positif dari pengaruh puÂtusan MK tersebut bahwasannya putusan MK sudah berhasil mengÂgerakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengakui masyarakat adat daÂlam produk hukum yang lebih konkrit,” pungkasnya. ***
Sumber: http://www.rmol.co/read/2015/05/18/203038/Pemerintah-Belum-Lindungi-Masyarakat-Adat-