Pemetaan Partisipatif

Pemerintah Belum Lindungi Masyarakat Adat Putusan MK Diabaikan

thumb_362367_10125618052015_Masyarakat-AdatRMOL. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menya­takan hutan adat bukan hutan negara, pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk me­lindungi masyarakat adat yang tersebar di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berharap, putusan MK tersebut menjadi momen­tum pengembalian hak-hak masyarakat adat.

Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK harus mampu menunjukkan kepedu­lian dan komitmen besar ter­hadap hak-hak masyarakat adat. “Komitmen tersebut telah tertuang dalam Nawa Cita. Ada harapan baru pada pemerintah­an Indonesia sekarang. Kami optimis dan tetap meminta pe­merintah agar secepat mungkin menghilangkan kasus-kasus kriminalisasi masyarakat adat yang telah terjadi,” katanya da­lam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

AMAN mendesak agar pe­merintah mengambil langkah-langkah cepat penghentian kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat. “Beberapa langkah tersebut di antaranya segera dibentuknya Satgas Masyarakat Adat dan dijadi­kannya Putusan MK No. 35 se­bagai pertimbangan mendasar dalam proses-proses penyusu­nan regulasi dan kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Satgas Masyarakakat Adat penting direalisasikan untuk mempercepat proses-proses pengakuan hukum masyarakat adat termasuk didalamnya percepatan pembahasan danpenge­sahan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA) dan mempersiapkan pembentukan Komisi Masyarakat Adat.

“Pembentukan satgas ju­ga berfungsi penting dalam mempercepat proses-proses pengampunan dan pembebasan warga masyarakat adat yang dikriminalisasi oleh negara karena mempertahankan hak atas wilayah adatnya,” paparnya.

Abdon menerangkan, dalam putusannya MK menyatakan hutan adat merupakan satu kesatuan dengan wilayah adat. Pengembalian hak masyarakat adat mengelola wilayahnya sendiri dua tahun lalu meru­pakan tonggak pengembalian hak-hak masyarakat adat yang lebih luas. “Namun sayangnya belum semua jajaran aparat pemerintah memahami bah­wa hak-hak masyarakat adat yang banyak dirampas harus dikembalikan dan dilindungi,” sebutnya.

Pihaknya mencatat telah terjadi 25 kasus kriminalisasi masyarakat adat yang menjerat 33 orang dengan mengunakan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) yang dike­luarkan setelah Putusan MK. No. 35.

“Sekarang setelah dua tahun berlalu sejak Putusan MK No. 35 yang bersejarah, kita mem­butuhkan orang-orang yang lebih berkomitmen di pemer­intah dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat. Ini meru­pakan momentum yang tepat menjalin rekonsiliasi negara dan masyarakat adat dengan segera membentuk Satgas Masyarakat Adat dan menghentikan berba­gai bentuk kekerasan dan krimi­nalisasi terhadap masyarakat adat,” tandasnya.

Peneliti dari Epistema Institut, Yance Arizona, menam­bahkan putusan MK no. 35 itu merupakan titik penting dalam perjuangan pengakuan ke­beradaan masyarakat adat dan hak-haknya. “Hutan adat berada di atas hutan negara, dan putusan tersebut meluruskan konsep pen­guasaan tanah di dalam kawasan hutan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, berdasarkan putusan MK tersebut Pemerintah Daeran dan Peraturan Daerah memegangperanan penting dalam pelak­sanaan Putusan MK 35. Pemerintah Pusat bahkan MK telah menyerahkan tanggung jawab kepada Daerah. “Jika kita meli­hat sisi positif dari pengaruh pu­tusan MK tersebut bahwasannya putusan MK sudah berhasil meng­gerakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengakui masyarakat adat da­lam produk hukum yang lebih konkrit,” pungkasnya. ***

Sumber: http://www.rmol.co/read/2015/05/18/203038/Pemerintah-Belum-Lindungi-Masyarakat-Adat-