Menurut Koordinator GDN Rahmat Sulaiman, sejauh ini mekanisme pemerintah dalam mengelola ekosistem gambut masih berfokus pada aspek biofisik dan keanekaragaman hayati saja. Rahmat mengatakan, aspek sosial dalam perlindungan ekosistem gambut masih belum mendapat perhatian dan perlindungan yang memadai.
“Salah satu sumber kegagalan pengelolaan SDA termasuk pengurusan gambut adalah pemerintah belum melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan pengelolaan. Ini dapat mengakibatkan konflik agraria yang berkepanjangan,” ujar Rahmat saat ditemui dalam diskusi mengenai Potret Krisis Kawasan Gambut Indonesia di Jakarta, Jumat (24/6).
Berdasarkan data tahun 2013, Indonesia memiliki tiga pulau besar yang memiliki ekosistem gambut terluas yakni Sumatra sebesar 7,2 juta hektare, Kalimantan sebesar 5,8 juta hektare, dan Papua sebesar 7,8 hektare. Menurut Rahmat, keseluruhan luas ekosistem gambut yang ada pada tiga pulau tersebut masih rawan terekspose oleh perluasan perkebunan dan pelepasan lahan perusahaan.
Rahmat mengatakan, lebih dari 8 juta hektare ekosistem gambut pada ketiga pulau itu termasuk ke dalam konsesi perusahaan swasta maupun negara. Pada umumnya, lahan konsesi tersebut dimanfaatkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Penguasaan Hutan (HPH), perkebunan sawit, dan tambang. Izin HTI terbesar yakni sebanyak 70,5% terdapat di Pulau Sumatra dan izin HPH terbesar yakni sebanyak 66% berada di Papua.
Masih maraknya kepemilikan konsesi lahan perusahaan dalam ekosistem gambut, tutur Rahmat, menggambarkan kurang optimalnya konsistensi pemerintah dalam perlindungan ekosistem gambut. Dalam Peraturan Pemerintah No 71/Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut seakan memberikan tanda bahwa negara telah menaruh perhatian lebih dalam pengelolaan kesatuan hidrologi gambut.
Namun di sisi lain, menurut Rahmat, masih banyak peraturan pemerintah yang bertolak belakang dengan tujuan pemerintah terkait perlindungan ekosistem gambut. Salah satunya, Peraturan Menteri Pertanian No 14/Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.
“Satu sisi PP No 77 Tahun 2014 oke lah sebagai bentuk perhatian pemerintah melindungi ekosistem gambut, walaupun dari segi sosial masih belum optimal perlindungannya terhadap model wilayah kelola masyarakat terhadap lahan gambut. Tapi, di sisi lain masih ada Permentan No 14 Tahun 2009 ini yang jelas menekankan pada eksploitasi gambut,” kata Rahmat.
Potret Krisis
Rahmat mengatakan, salah satu konflik yang paling sering berkelit dalam pengelolaan lahan gambut adalah konflik tenurial perkebunan, khususnya perkembunan sawit.
Tak sedikit petani dan masyarakat lokal sekitar lahan gambut harus terdepak di lahan mereka sendiri akibat tumpang tindih izin dan perluasan perkebunan konsesi perusahaan. Setiap tahunnya, terhitung dari tahun 2003-2013, tercatat sekitar 500.000 petani harus terlempar dari tanahnya akibat perluasan perkebunan yang terus meningkat dari 8,7 juta hektare pada tahun 1986 menjadi 21,4 juta hektare pada tahun 2012.
“Setiap tahunnya pemerintah menerima pendapatan negara dari sektor ini, tapi setiap tahun pula petani harus terlempar dan tersingkir dari tanahnua sendiri,” tutur Rahmat.
Menurut Kepala Departemen Sosial Sawit Watch Harizajudin, izin kegiatan usaha perkebunan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebgan dasar peraturan daerah sehingga areal konsesi yang merupakan areal gambut dalam kawasan hutan dapat dikonversi oleh pemegang izin dalam jangka waktu tertentu.
Berdasarkan permohonan tersebut, papar Harizajudin, perusahaan dapat menerbitkan pelepasan hutan menjadi kebun sawit. Terkait pemberian izini usaha ini pun, menurutnya, selalu menyisakan masalah yang pada akhirnya mendeskriditkan hak masyarakat adat dan lokal.
“Pemberian izin (usaha) oleh pemerintah seringkali meninggalkan masalah, mendeskriditkan hak masyarakat lokal bahkan tak jarang kriminalisasi masyarakat lokal oleh perusahaan yang difasilitasi negara, penggusuran lahan pangan serta kebun masyarakat, dan masih banyak lagi,” kata Harizajudin.
Berdasarkan catatan Sawit Watch, dalam kurun waktu tahun 2015-2016, dari 16 kabupaten di lima provinsi sekiranya telah terjadi 37 kasus konflik perkebunan sawit pada lahan gambut. Lima provinsi tersebut yakni Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau.
Pelibatan Warga Lokal
Belajar dari pengalaman pengelolaan eks Pemanfaatan Lahan Gambut (PLG) di Kahayan Hilir, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pengelolaan lahan gambut bersama masyarakat adat dan lokal sekitar dapat menjaga ekosistem gambut menjadi lestari sekaligus membangun perekonomian masyarakat.
Menurut anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPO) Dewi Sutejo, pengelolaan ekosistem gambut berbasis pengetahuan lokal masyarakat justru dapat meningkatkan keberhasilan perlindungan lahan gambut hingga ke tingkat tapak/desa secara signifikan.
Masyarakat desa Pulang Pisau, Kahayaan Hilir mengenal sistem “handil” yang berbasis gotong royong dalam pengelolaan dan perlindungan lahan gambut di daerah mereka. Masyarakat disana telah menyepakati bagian-bagian lahan gambut mana saja yang patut dijaga sebagai wilayah keramat – yang biasanya digunakan sebagai tempat ritual adat, dan wilayah bahu dan bahu rimba sebagai wilayh yang dapat ditanami tanaman pangan dan produksi sebagai sumber pemasukan warga.
Selain pembagian lahan, papar Dewi, sistem “handil” pun memperhatikan pemeliharaan sungai dan sumber air sekitar dalam pemanfaatan lahan gambut. Warga Pulang Pisau tidak hanya bertugas mengelola dan memanfaatkan lahan yang ada, tapi juga diharuskan menjaga keberlanjutan sumber air sekitar seperti sungai ataupun danau.
“Kunci utama dari sistem ini terletak pada pembagian lahan gambut untuk masyarakat kampung. Warga telah memiliki tugas dan kegiatan pemeliharan sungai dan lahan sesuai kesepakatan bersama,” kata Dewi.
Dewi menambahkan, sistem “handil” ini dapat dijadikan contoh pelibatan masyarakat yang dapat meninngkatkan keberhasilan pengelolaan ekosistem gambut secara lestari baik dari sisi lingkungan maupun sosial.