Pemetaan Partisipatif

Penataan Ruang Wilayah: Perjalanan Panjang Bangsa

Menurut UU No. 24 tahun 1992, tata ruang didefinisikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang atau wadah, baik direncanakan maupun tidak. Untuk memberikan manfaat yang luas dan berkelanjutan terhadap suatu ruang atau wilayah diperlukan perencanaan terhadap penataan ruang, yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Meski secara aktual penataan terhadap ruang laut dan udara hampir tidak pernah dilakukan, namun pencantuman kedua ruang tersebut dalam UU perlu dilakukan, karena secara geopolitik ketiganya merupakan satu kesatuan geografis yg tidak dapat dipisahkan dan berkait dengan kedaulatan negara. Perencanaan tata ruang sendiri lebih terfokus pada pemanfaatan ruang daratan itu sendiri, karena di wilayah inilah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya berinterkasi menjaga keseimbangan ekosistem. Artinya perencanaan tata ruang tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha menjaga kelestarian lingkungan, keseimbangan ekosistem dan bermuara pada tercapainya kenyamanan hidup bagi segenap penghuninya.

PBB menetapkan Human Proverty Index (HPI) yang salah satu parameternya adalah kelayakan standar hidup (a decent standard of living) yang diukur berdasarkan kelayakan akses individu terhadap seluruh peluang ekonomi. Indikator ini diukur berdasarkan prosentase jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan prosentase jumlah anak-anak yg memiliki berat badan di bawah usia normal. Digunakannya akses terhadap seluruh kesempatan ekonomi dan air sebagai indikator adalah cerminan basic need manusia untuk memiliki kesempatan mendapatkan pengetahuan, kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan, dan kesempatan hidup yang lebih panjang. Salah satu cara mencapai HPI yang memadai adalah melalui pemanfaatan ruang yang effektif dan effisien serta sesuai dengan potensi daya dukung lahannya.

Perencanaan tata ruang sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perencanaan dan pengaturan tempat baik secara vertikal maupun horizontal, berskala makro maupun mikro. Indonesia dengan luas daratan sekitar 1.92 juta km2 atau memiliki ratio kepadatan penduduk 126/km2, masih memfokuskan diri pada penataan ruang secara horizontal dan skala makro. Bila pun ada pendirian bangunan secara vertikal masih terfokus pada penataan ruang vertikal ke atas. Sedangkan keseimbangan penataan ruang secara horizontal dan penataan ruang vertikal ke bawah masih belum menunjukkan hasil optimal. Secara horizontal saja, penataan ruang menyimpan banyak persoalan serius untuk dicarikan solusinya. Sedemikian komplek persoalan penataan ruang ini terkait keseimbangan antar makhluk hidup, serta kenyamanan masyarakat yg hidup di dalamnya, diperlukan ketegasan pemerintah yang kian berpihak pada kepentingan publik, untuk menegakkan peraturan yang sudah beratus jumlahnya. Sangat dirasakan betapa kepentingan ekonomi jangka pendeklah yg mengemukan dalam menata ruang. Pengalihfungsian puluhan bahkan ratusan situ di sekitar Jabodetabek, kian luas zona impermeabilitas akibat berkurangnya lahan terbuka hijau di daerah perkotaan, penutupan aliran pembuangan/sungai kecil oleh bangunan, hilangnya hak publik atas akses air bersih, klusterisasi zona industri di daerah hulu dan badan sungai yg berakibat tercemarnya air sejak hulu, pembuatan jalan tol yang memutus kebutuhan air irigasi lahan sawah potensial, atau pembuatan jalan bebas hambatan yang justru mengekspansi jalan umum, dll adalah contoh sedemikian kritis penataan ruang kita. Ujung dari seluruh jenis ketidaktaatan terhadap tata ruang dan daya dukung lahan ini adalah dirugikannya hak-hak masyarakat untuk mendapatkan kenyamanan hidup yang mereka dambakan. Hampir dapat dikatakan, negara menjadi tidak berdaya mengurus rakyatnya dalam hal pemenuhan hak-hak publik terkait pemanfaatan ruang.

Semangat otonomi daerah dapat pula menjadi bumerang tersendiri bila salah dalam memahami arti bahwa sesungguhnya penataan ruang tidak mengenal batas wilayah administratif. Sebab lahan sebagai basis penataan ruang adalah bentang alam dan merupakan satu kesatuan toposequence yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Tidak dapat dibayangkan apabila sinergi penataan ruang antar wilayah tidak dilakukan, Jakarta akan selamanya mendapat kiriman banjir bandang dan sampah dari wilayah Bopunjur, atau Semarang akan selamanya menjadi kota rob. Kompensasi wilayah hilir yang umumnya menjadi pusat bisnis dan ekonomi terhadap daerah hulu perlu dipikirkan sebagai insentif terhadap sinergi pembangunan ini. Kekhawatiran terhadap kian menguatnya otonomi daerah terhadap kewenangan mengelola suatu wilayah atau kawasan dan menjaga ketahanan nasional diduga sebagai salah satu alasan perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 24 tahun 1992 itu, di mana pembahasan RUU Penataan Ruang tersebut hingga ini masih terus dilakukan. Sebab bukan tidak mungkin kemudian terjadi bahwa suatu daerah bersikeras melakukan pengelolaan ruang darat, ruang laut dan ruang udara sebagai bagian dari zona ekonomi, sehingga pelintas batas harus membayar pajak dalam memanfaatkannya.

Kita dapat belajar dari negara negara yang telah berhasil menata ruangnya dengan sangat baik dan effisien. Jepang dengan 80% wilayah terdiri dari pegunungan, dan hanya 20% dataran dengan panjang lereng yang pendek terhadap garis pantai (potensial menyebabkan erosi dan banjir), dengan jumlah pendudukan separuh negeri kita, mampu memanfaatkan ruang dengan effisien. Pengembangan zona industri di tepi laut memberi keuntungan dari sisi effisiensi transportasi serta menghindari pencemaran air sungai dan polusi udara bagi kawasan pemukiman, fasilitas ruang terbuka hijau dan taman bermain (koen) di setiap kelurahan atau kecamatan (ku/cho), yang sekaligus sebagai zone resapan air dan kolam penampung air limbah, perencanaan saluran penyalur dan pengelolaan limbah air rumah tangga dan industri (water sewage) sebelum akhirnya dialirkan ke sungai dan laut, pembangunan pusat bisnis terintegrasi dengan subway di kedalam puluhan meter di bawah permukaan tanah, ketersediaan luasan area bagi pejalan kaki (pedestrian) dan pengendara sepeda yang manusiawi, atau konsistensi pemda dalam menyiapkan lahan bagi hutan untuk seratus tahun mendatang seperti yg terdapat di kota Kobe, demikian pula konservasi kawasan lindung. Dengan demikian kenyamanan hidup menjadi lebih baik, tanpa mengurangi efektivitas dan effisiensi aktifitas penduduknya dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa keterlambatan kerja pada iklim yang normal tidak ditemukan. Seluruh jadwal kegiatan dapat direncanakan dengan baik dan tepat waktu.

Kita pun dapat belajar dari Perancis. Keberadaan subway yang sudah lebih dari 100 tahun dan konservasi arsitektur klasik setiap bangunan di seluruh kota, khususnya Paris, menunjukkan taat nya mereka terhadap peraturan yg dibuat. Keseimbangan horizontal pun tak luput dari konsep penataan kota mode dan budaya ini. Di kota Paris, kita hanya akan menemukan satu gedung menjulang tinggi yaitu menara Montparnasse, yang dalam tahap pembangunannya memerlukan diskusi lebih dari 10 tahun. Selebihnya bangunan dengan jumlah lantai tidak lebih dari lima, dikelilingi oleh ruas jalan yang tertata secara diagonal, saling bersilang rectangular. Atau bila kita ke arah Selatan Perancis, di kota Monpellier kita dapat melihat bagaimana pemerintah lokal membangun jalur kereta dalam kota (Metro) dari Mosson ke Port Marianne persis di antara barisan pohon Sycamore yang telah berusia lebih dari 50 tahun dan tetap tumbuh di sisi kanan dan kiri jalurnya. Dari contoh di atas dapat dikemukan di sini bahwa penataan ruang merupakan entry point menuju efektivitas dan effisiensi pengelolaan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu, nampak bahwa penataan ruang merupakan cerminan perjalanan panjang budaya suatu bangsa, dan juga cerminan konsistensi dari rencana yang telah dibuat minimal 50 tahun sebelumnya. Dikatakan sebagai perjalan budaya suatu bangsa, karena penataan ruang yang baik telah menjadi kebutuhan setiap individu. Dengan demikian kontrol terhadap pemanfaatan suatu ruang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang sebelumnya dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan.

Sesungguhnya lah kita telah memiliki seluruh modal dasar tersebut. Masyarakat yang cinta dan butuh akan lingkungan yang terpelihara, kemudian warisan budaya baik masyarakat Sumatera, Jawa hingga Papua. Borobudur sebagai warisan budaya nenek moyang, telah memberi pelajaran bahwa dalam penataan ruang terdapat keseimbangan di dalam struktur bangunan itu sendiri, dan keseimbangan terhadap lingkungannya. Sekarang yang dibutuhkan adalah membangkitkan kembali kesadaran, idealisme dan ketaatan para pejabat publik sebagai pemegang wewenang penuh pengalokasian wilayah terhadap rencana tata ruang yang telah dibuat berdasarkan daya dukung lahan, keterbukaan pemerintah terhadap rencana pemanfaatan suatu kawasan, dan kontrol terhadap pemanfaatan suatu ruang yang dilakukan oleh masyarakat, yang sejak dini dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan. Para wakil rakyat di lembaga legislatif dituntut untuk tidak segan mempelajari dinamika peraturan dan pemanfaatan ruang wilayah di setiap kabupaten/kota, sehingga proses pengendali pemanfaatan ruang dapat dilakukan sejak dari unit terkecil penataan ruang wilayah. Sehingga di masa datang tidak ada lagi pemanfaatan ruang hanya semata berdasarkan pertimbangan ekonomi dan mengabaikan faktor lingkungan dan hak-hak publik.

Haris Syahbuddin
Inovasi Online Edisi Vol.7/XVIII/Juni 2006

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment