Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia, hingga kini masih belum ada kepastian. Hak wilayah belum diakui hingga rentan terusir dan memunculkan konflik di mana-mana. Kondisi serupa ternyata terjadi di banyak negara di dunia. Sebenarnya, masyarakat adat dan komunitas lokal mengelola lahan dunia hampir 65%, tetapi hanya sekitar 10% diakui secara hukum. Sebagian besar mengelola lahan hanya berdasarkan pengaturan adat, tak terpetakan hingga tak memiliki batas formal. Untuk itu, beberapa organisasi berinisiatif menyiapkan peta wilayah adat dunia lewat Landmarkmap yang rilis 11 November 2015 di Indonesia.
Di Landmark ini, bisa terlihat peta-peta adat di berbagai belahan dunia. Dari status pengakuan negara formal atau belum, luas wilayah adat, bahkan sampai aturan-aturan terkait masyarakat adat di satu negara. Peta ini terus berproses, dan interaktif, ada kanal yang memungkinkan berbagai pihak memberikan informasi tambahan atau data terbaru.
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, makna Landmark ini sebenarnya suatu upaya menghadirkan masyarakat adat di tengah-tengah negara.
Di Indonesia, katanya, hingga kini masyarakat adat antara ada dan tiada. Konflik pun terjadi baik di lapangan maupun antar UU. Sebenarnya, konstitusi Indonesia progresif soal masyarakat adat. Pengakuan sudah ada dalam UU Pokok Agraria, misal, tetapi tak dalam tataran pelaksanaan.
Di lapangan yang terjadi, pendaftaran tanah-tanah individual oleh BPN. Prona muncul dan ditawarkan di wilayah-wilayah adat. Dampaknya, antar keluarga, antarmarga berkelahi. Kekacauan muncul, katanya, pada launching Landmarkmap di Jakarta.
Belum lagi, katanya, UU Kehutanan, 70-80% wilayah adat masuk kawasan hutan negara. Jika dibandingkan dengan Filipina, kata Abdon, baru mengakomodasi masyarakat adat 1987, tetapi dalam tempo 10 tahun keluar UU soal masyarakat adat. Indonesia, 70 tahun kemudian (UU masyarakat adat) gak ada. Ini timbulkan banyak masalah.
Masyarakat adat, kata Abdon, hanya hadir di dalam konstitusi tetapi tak di kebangsaan dan di hadapan negara. Kini, angin segar muncul kala Mahkamah Konstitusi memutuskan hutan adat bukan hutan negara pada 2013 (MK35). AMAN pun memulai strategi baru dalam perjuangan mendapatkan pengakuan hak, lewat pemetaan wilayah adat. Peta-peta wilayah adat partisipatif inilah yang masuk dalam Landmark.
Dengan ada Landmark ini, katanya, sebagai sarana menunjukkan kalau masyarakat adat itu ada. Ia juga alat komunikasi dan memperjelas batas-batas wilayah (hutan) hingga bisa membantu pemerintah dalam mempercepat penetapan wilayah adat.
Abdon mengatakan, peta wilayah itu tak hanya untuk anggota AMAN tetapi komunitas-komunitas adat di luar AMAN bisa memberikan data. Caranya, bisa memasukkan peta melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
AMAN kini mempunyai 2.302 komunitas adat, baik indikatif maupun faktual. Anggota AMAN, kata Abdon, hanya sebagian kecil atau sekitar 20-30% dari populasi masyarakat adat di Indonesia. Untuk itu, bersama PT Serasi Kelola Alam (Sekala), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), membuat peta indikatif di seluruh Indonesia. Ternyata, wilayah adat cukup besar, sekitar 84 juta hektar, dengan 42 juta hektar masih dominan masyarakat adat. Peta wilayah adat yang sudah diserahkan ke pemerintah seluas 6, 8 juta hektar, dengan 4,7 juta hektar sedang proses dari hutan negara ke hutan hak (adat), dengan tetap berada di kawasan hutan.
Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia, mengatakan, peta itu sebagai sarana atau bahasa agar para pihak bisa komunikasi lebih baik. Dengan peta, katanya, bisa berbicara dengan bahasa sama hingga jauh lebih produktif dan kontruktif. Ini sarana yang direvitalisasi untuk bisa digunakan antar pihak dengan sehat, logis dan setara, katanya.
Landmark ini, katanya, bisa digunakan berbagai pihak, dari komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, pemerintah, perusahaan dan investor, agen pembangunan, sampai peneliti dan pekerja pendidikan.
Dengan Landmark, bisa mengetahui karakter-karakter kebakaran hutan di wilayah adat, kalau digabungkan dengan data titik api. Kala digabungkan dengan data konsesi perusahaan, katanya, bisa tahu kalau ada masyarakat adat atau tidak. Atau ketika investor mau investasi, bisa dari awal mengenai kondisi wilayah. Bisa juga, kalau digabungkan data peta indikatif alokasi perhutanan sosial (PIAPS) atau land cover untuk mengetahui potensi restorasi.
Landmark, juga merupakan sumber informasi wilayah nasional. Ia bisa memperlihatkan persentasi wilayah nasional yang merupakan lahan kepemilikan bersama (komunal). Dia mencontohkan, Landmark menunjukkan 78.9% lahan Afrika dikelola masyarakat adat, sekitar 21% lahan diakui formal, sisanya 57.9% tidak diakui.
Ini platform progresif, bergerak terus sesuai update. Proses yang terjadi terus direkam dan akan memperbaiki data dari waktu ke waktu. Launching ini penting, buat undang agar ada respon balik guna mempertajam platform.
Landmark diarahkan oleh suatu Komite terdiri dari organisasi-organisasi dari berbagai penjuru dunia seperti Liz Alden Wily, Independent Land Tenure Specialist (Kenya), AMAN (Indonesia), WRI, Forest Peoples Program (Inggris), Foundation for Ecological Security (India), Instituto del Bien Común (Peru), International Land Coalition (Itali). Lalu, Philippine Association for Intercultural Development, Inc(Filipina), Rainforest Foundation UK (Inggris), Red Amazonica de Informacian Socioambiental Georreferenciada (Brazil), Rights and Resource Initiative (Washington DC, Amerika Serikat), Union of Indigenous Nomadic Tribes of Iran/ Centre for Sustainable serta Development & Environment (Iran).