Pemetaan Partisipatif

Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan, Apa Manfaatnya?

Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan penting dilakukan mengingat ada sinergisitas antara rencana pengelolaan masyarakat dengan rencana pembangunan pemerintah daerah. Foto: Rhett Butler

Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan (PPLB) merupakan perencanaan penggunaan lahan yang menekankan metode pemetaan partisipatif dan perencanaan tata guna lahan yang lebih detil. Proses ini menekankan pada lima aspek besar yaitu sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan.

Perencanaan tata guna lahan berkelanjutan harus dibangun melalui pendokumentasian pengetahuan lokal masyarakat mengenai ruang hidupnya yang mencakup sumber-sumber penghidupan dan wilayah lindung mereka. Hasil dari PPLB ini, nantinya akan disusun secara sistematis sebagai masukan penting yang diintegrasikan dalam dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten atau kota.

Proses pembangunan kesepakatan tersebut, dilakukan melalui forum diskusi desa, lalu ke kecamatan, dan dilanjutkan ke kabupaten. Forum ini sekaligus sebagai media komunikasi, penyebaran informasi, bahkan sebagai penyelesaian masalah baik di dalam maupun antar-desa.

Akan tetapi, dikarenakan perencanaan penggunaan lahan merupakan proses yang rumit, terkadang melibatkan intrik politik, pada praktiknya di beberapa tempat, penyusunan RTRW kabupaten sering kali tidak melihat kondisi faktual masyarakat setempat.

Alih-alih mendatangkan keadilan ruang bagi masyarakat, penyusunan RTRW kabupaten yang telah diatur dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tersebut tak jarang dijadikan ajang pembagian konsesi wilayah dan sumber-sumber pertanian untuk investasi skala besar. Padahal, masyarakat pedesaan telah memiliki konsep ruang tersendiri berdasarkan pengetahuan dan kearifannya.

Deny Rahadian, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menuturkan bahwa PPLB merupakan pengembangan metode pemetaan partisipatif yang mensyaratkan sinergisitas antara rencana pengelolaan masyarakat dengan rencana pembangunan pemerintah daerah.

Dalam PPLB, diatur mengenai penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan sesuai daya dukung lahan, serta kesesuaian kondisi sosial ekonomi masyarakat. “PPLB merupakan jalan menuju keadilan ruang dan solusi atas konflik ruang yang selama ini terjadi,” ungkapnya dalam Seminar Nasional Mendorong Integrasi Peta Kelola Rakyat Melalui Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan, di Bogor, Kamis (21/5/2015).

Menurut Deny, hakikat PPLB adalah merubah paradigma pembangunan desa yang selama ini hanya ditentukan oleh kebijakan pusat atau pemerintah daerah menjadi subjek perencana yang didukung oleh pemerintah daerah. Yaitu, dengan cara memberi akses seluasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan wilayahnya melalui pendekatan participatory approach bukan command and rule paradigm sebagaimana yang terjadi.

 

Hutan gambut yang rusak akibat penggunaan lahan yang tidak disesuaikan peruntukannya. Foto: Rhett Butler

 

Pendampingan

Kegiatan pendampingan yang dilakukan JKPP terhadap komunitas lokal di Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan masyarakat adat di Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan menunjukkan betapa pentingnya PPLB dilaksanakan.

Menurut Deny, di Kecamatan Timpah yang sebagian besar wilayahnya gambut justru oleh pemerintah setempat diberikan izin untuk perusahaan kelapa sawit yang merupakan ancaman besar. Melalui PPLB terlihat jelas bahwa tingkat kesesuaian penggunaan lahan masyarakat dengan draf RTRW kabupaten hanya 36 persen.

Nilai positifnya adalah, melalui PPLB, Pemerintah Daerah Kapuas menyambut baik masukan data dari hasil PPLB tersebut dalam pembahasan draf RTRWK dan RTRWP. Proses tersebut dicapai melalui forum diskusi ruang yang melibatkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) melalui PPLB.

Sementara, berdasarkan PPLB untuk kesesuaian wilayah masyarakat di Kecamatan Rampi dengan wilayah lindung dalam RTRWK Luwu Utara, hanya 20 persen saja atau sekitar 4.598,6 hektar yang terlihat. Sisanya, sekitar 80 persen atau 19.550 tidak sesuai.

Sementara, wilayah lindung dalam peta perencanaan masyarakat Rampi yang dialokasikan sebagai kawasan budi daya di RTRWK seluas 55.289 hektar. Melalui PPLB tergambar, kesesuaian wilayah hanya tercapai 47,38 persen, sementara sisanya sekitar 52,62 persen atau 61.409 hektar tidak sesuai.

Baharuddin Nurdin, Sekretaris Bappaeda Luwu Utara, mengatakan sejauh ini PPLB telah memberikan masukan positif terhadap implementasi Perda Kabupaten Luwu Utara No 6 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunana Jangka Menengah Daerah 2010-2015. Yang terpenting adalah membantu penerapan pembangunan pertanian berkelanjutan.

Menurut Baharuddin, hal yang telah dicapai melalui PPLB adalah adanya peta partisipatif Kecamatan Rampi, analisis peta usulan masrakat untuk areal penggunaan lain, serta sinkronisasi data dengan SKPD terkait, misalnya soal kehutanan. “Pemkab telah melahirkan Perda sistem Perencanaan Daerah dan Peraturan Bupati mengenai Sistem Perencanaan pembangunan Partisipatif. Dokumen PPLB Kecamatan Rampi ini nantinya akan diserahkan ke Pemkab Luwu Utara melalui Bappeda sebagai masukan penyusunan rencana detil tata ruang (RDTR) dan revisi RTRW Luwu Utara,” ujarnya.

Budi Rario, Kepala Bagian Fisik dan Prasarana Bappeda Kapuas, menuturkan bahwa Pemkab Kapuas sangat mengapresiasi kegiatan PPLB tersebut karena terjadi sinergi antara masyarakat, pemerintah daerah dan JKPP itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak dapat dilibatkan sehingga konflik dapat diminimalisasi.

Budi memberikan usulan agar kedepannya ada pembaruan aspek kebijakan dan yuridis mengenai perencanaan dan tata kelola lahan di tingkat masyarakat. “Dengan begitu pemberdayaan masyarakat dengan segala kondisi dan potensinya dapat diterapkan secara luas dan maksimal.”

 

 

Peran peta partisipatif

Oswar Muadzin Mungkasa, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasonal (PPN/Bappenas), menuturkan bahwa rencana tata ruang perdesaan yang merupakan bagian dari kabupaten harus tercakup dalam rencana tata ruang kabupaten. Pembangunan kawasan perdesaan tersebut meliputi penyusunan rencana tata ruang perdesaan secara partisipatif.

Menurut Oswar, peran PPLB melalui peta partisipatif dapat mendukung sekaligus memberi masukan kritis terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW.

Juga, menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan lahan bagi masyarakat. “Peta kelola rakyat ini dapat dijadikan alat untuk pengendalian pemanfaatan ruang demi menjamin terwujudnya tata ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.”

Budi Mulyanto, Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menuturkan, secara umum konflik agraria terjadi di masyarakat dikarenakan administrasi pertanahan masih dalam proses penataan. Khususnya di bidang pengukuran, pemetaan, dan mekanisme legalisasi tanah yang beragam. Kondisi ini makin rumit dengan masih adanya aturan hukum yang tumpang tindih dan juga bias. “Namun, untuk beberapa masalah masih terjadi kekosongan hukum.”

Peta, menurut Budi, merupakan alat bantu bagi Kemeterian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional guna memberikan kepastian hukum penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). “Substansi peta yang dapat memberikan kepastian hukum sebaiknya memenuhi standar teknis kartografis, dijustifikasi oleh pemegang hak yang berbatasan, dilegalisasi oleh pejabat berwenang, dan dapat diintegrasikan dalam sistem informasi spasial,” jelasnya.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/05/26/perencanaan-penggunaan-lahan-berkelanjutan-apa-manfaatnya/