“Hutanku, Tabunganku, Masa Depanku” adalah slogan yang menjadi landasan pijak pemilik hutan untuk mewujudkan kedaulatannya atas ruang. Hutan merupakan tempat hidup, berkembang biak dengan corak kehidupan yang beraneka ragam berdasarkan karakteristik social budaya secara bermartabat, mandiri yang berkesinambungan.
Slogan ini seakan diabaikan karena keterbatasan sumber daya manusia yang menyebabkan kurang memahami selogan tersebut kemudian menganggapnya hal ini merupakan sebuah takdir yang tak ada alasannya untuk ditolak melainkan menerima dan berharap terjadi mukzijat. Kondisi ini kemudian mengabaikan semua perubahan yang terjadi, termasuk perubahan kewenangan pengaturan hutan seiring dengan lahirnya kebijakan negara tentang kehutanan melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 49 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dampak dari kebijakan kehutanan ini kemudian menyebabkan sebagian besar ruang kelola masyarakat telah berubah fungsi menjadi kawasan hutan negara yang telah memutuskan hubungan spriritual dan/atau social budaya dengan hubungan ekonomi dan factor-faktor lainnya dari masyarakat setempat dengan hutan. Kedaulatan rakyat atas ruang telah tercabut dari kehidupan social dan kondisinya telah berubah menjadi tidak tenang, tidak nyaman dan kehidupannya selalu diwarnai dengan sikap kehati-hatian dan waspada. Jika tidak mampu menahan diri dari kondisi ini dan melakukan perlawanan maka terali besi alias penjara adalah tempat peristerahatannya karena dianggap melawan hukum.
Dengan demikian maka tentu kebahagiaan, kenyamanan dan kesejahteraan menjadi sesuatu yang amat mahal harganya.
Pemerhati masalah social atau para aktifis gerakan sosial turut berperan melawan ketidakadilan ini melalui berbagai teknik dan strategi sesuai visi dan misi masing-masing. Hal tersebut dilakukan untuk setidaknya membangun rasa percaya diri rakyat untuk bangun dan menyatakan sikap bahwa kebijakan harus berpihak kepada rakyat. Kebijakan harus diperbaharui agar cita-cita luhur bangsa yang terpatri dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945 benar-benar terwujudkan.
Memasuki abad ini, secara bertahap teknik dan strategi para aktifis gerakan social mulai terjawab dengan pemberian akses kelola hutan negara kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan negara. Masyarakat dapat memanfaatkan hutan melalui skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah berubah menjadi skema perhutanan social guna pemenuhan kebutuhan masyarakat dari aspek ekonomi, ekologi dan social budaya.
Tanggal 10 Maret tahun 2017 merupakan sejarah terindah bagi masyarakat Kabupaten Alor khususnya 9 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan negara Wasbila RTK 3 dan Sirung Lalang Gasang RTK 4. Mereka memperoleh jawaban atas harapan selama ini tentang pemberian akses kelola secara legal atas ruang kelola yang sebelumnya terkena perluasan kawasan hutan negara tanpa kompromi atau secara sepihak.
Wajah sukacita terlukis pada dua orang perwakilan ketua kelompok dari dua kawasan disaat menerima Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia tentang Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) melalui Bapak Wiratno, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Hotel On the Rock di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kelompok ini melakukan proses pengajuan dokumen perijinan pada tahun 2014 dan dapat menerima IUPHKm di tahun 2017. Hadir pada kesempatan itu adalah pengurus kelompok HKm se- Provinsi NTT, LSM Pendamping HKm se- Provinsi NTT dan KPH Se- Provinsi NTT.
Penerimaan akses legal pengelolaan hutan melalui IUPHK ini menimbulkan kecemburuan bagi kelompok lain di kabupaten lain bersama lembaga pendamping dan KPH. Ketidakpuasan juga dialami oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTT, karena kelompok-kelompok dari kabupaten lain yang diusulkan melalui Dinas Kehutanan Prvinsi NTT sejak tahun 2010-2015 belum ada ijinnya, sementara Kabupaten Alor yang tidak melalui Dinas Kehutanan Provinsi NTT justru ijinnya lebih cepat keluar.
Namun, bagi Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTT dan Yayasan Kasih Mandiri Flores Alor Lembata (SANDI FLORATA) justru merupakan poin positif serta membuat kebanggaan tersendiri. Menurutnya, mereka telah melakukan proses sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 88 tahun 2014 tentang HKm yang telah diubah menjadi Peraturan Meneteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Pemberian akses pemanfaatan hutan negara dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang kembali merupakan ruang bagi masyarakat untuk mewujudkan kedaulatannya atas ruang dengan pemanfaatan yang optimal untuk memenuhi berbagai kebutuhan social.
Untuk selanjutnya perlu merumuskan teknik pendampingan agar benar-benar peluang mendapatkan akses kelola secara legal dapat menjadi ruang untuk mewujudkan mimpinya yang kalau boleh sesuai dengan slogan di atas bahwa HutanKu, TabunganKu, Masa Depanku.
Selanjutnya tentu akan apalagi perlu berdiskusi guna rancang bangun yang partisipatif, akomodatif dan berkesinambungan.
Kalabahi/Alor, 15 April 2017
Penulis : Aku Sulu Samuel S. Sabu,
Anggota Individu JKPP dan Koordinator SLPP NTT
Add Comment