Pemetaan Partisipatif

Perhutanan Sosial Harus Memenuhi Prinsip Ini

Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan
Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan

Program Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di areal Perhutani yang dilaksanakan berdasarkan Permenhut No. 39 tahun 2017 harus memenuhi niat, tujuan dan implementasi yang baik untuk pembangunan dan menguatkan fungsi kawasan hutan.

Demikian disampaikan oleh Agustiana, Sekjend Serikat Petani Pasundan (SPP), dalam pernyataan sikapnya terkait prinsip-prinsip Program Perhutanan Sosial (PS) pada Selasa (25/7) di Sekretariat SPP Garut, Jalan Raya Samarang Tarogong Kaler, Garut.

Agus menambahkan bahwa Serikat Petani Pasundan akan menyetujui dan mendukung program Perhutanan Sosial ini terutama di areal Perhutani yang dikenal dengan IPHPS sepanjang memenuhi prinsip-prinsip berikut ini:

Prinsip-Prinsip Perhutanan Sosial :

  1. Program Perhutanan Sosial ini bertujuan untuk menjadi sebuah kebijakan yang didasari dengan dasar tujuan yang baik;
  2. Dalam pelaksanaannya, harus berbasis partisipatif dalam pengelolaan dan pengawasannya hal ini bertujuan untuk pembangunan serta penguatan fungsi kawasan hutan;
  3. Tidak diatas wilayah yang sudah dikelola oleh rakyat sebagai lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian tetap, hunian tetap, fasilitas umum, fasilitas pendidikan, sarana keagamaan, dan wilayah-wilayah yang sedang berkonflik;
  4. Lokasi Perhutanan sosial harus dilakukan pengukuhan kawasan hutan terlebih dahulu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan tahapan berlandaskan kepada UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 15 yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan;
  5. Dalam pengukuhan wilayah kawasan hutan tersebut atas tidak didasarkan pada penunjukan sepihak akan tetapi harus melalui berita acara tapal batas dengan memperhatikan izin pemerintahan setempat, penyesesuaian dengan tata ruang dan wilayah, serta pemetaan yang dilakukan secara partisipatif. Karena selama ini klaim kawasan hutan oleh Kementerian LHK penunjukannya dilakukan secara sepihak dan tidak partsipatif serta masih mengacu kepada peta kawasan hutan yang dibuat pada zaman Belanda Tahun 1930-an yang menetapkan kawasan hutan 71 % dari luas daratan Indonesia yang sampai saat ini belum diperbaharui;
  6. Hutan secara prinsip dibagi menjadi 2 jenis fungsi kawasan hutan, yaitu (1) Kawasan Hutan Proteksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi ekologis, fungsi resapan air, fungsi pengembangan jenis tanaman dan satwa, dan sebagai fungsi penelitian. Didalam kawasan ini tidak boleh ada kegiatan yang bersifat profit atau untuk mendapatkan keuntungan secara finansial dan di wilayah kawasan ini tidak boleh dijadikan objek program Perhutanan Sosial; (2) Kawasan Hutan Cadangan, yaitu kawasan hutan yang diproyeksikan untuk cadangan bagi kelangsungan hidup yang berkelanjutan dan sebagai cadangan untuk menutupi kebutuhan wilayah untuk dijadikan pembangunan pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan rakyat dengan tidak mengurangi fungsinya dan di wilayah ini boleh dijadikan objek program Perhutanan Sosial;
  7. Perhutanan Sosial dilaksanakan  tidak menggunakan pola seperti program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program Perhutanan Sosial harus bersipat lebih partisipatif yang mana rakyat memiliki akses dan kewenangan lebih luas dalam menjaga, merehabilitasi dan mengelola hutan, bahkan sampai pada melakukan pengawasan terhadap pengelolaan kawasan hutan;
  8. Dalam proses pengajuan, penentuan dan mengawasi pelaksanaannya ada lembaga independent yang dibentuk dengan melibatkan organisasi masyarakat yang minimal sudah 3 tahun aktip didalam pengembangan, pendampingan ekonomi dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat;
  9. Perhutanan sosial memiliki Surat Keputusan (SK) / izin pengelolaan dengan syarat yang jelas terhadap pertimbangan jangka waktu pengelolaannya dan pengelolaan tersebut bisa diwariskan kepada ahli warisnya;
  10. Perhutanan Sosial tidak mengurangi fungsi kawasan hutan dan idealnya program ini dapat menambah luasan fungsi kawasan hutan dari tanah negara yang sudah dibebani Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai masih berlaku maupun sudah tidak berlaku yang dikelola oleh BUMN atau swasta.
  11. Tidak bertentangan dengan nilai-nilai adat yang masih menjunjung budaya dalam melindungi fungsi kawasan hutan, serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan pancasila.