Perlawanan masyarakat adat atas penguasaan negara terhadap wilayah adat harus melalui jalan terjal. Mimi, misalnya, seorang ibu rumah tangga dari Alolama, Sulawesi Tenggara. Penemuan tambang emas di wilayahnya justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi.
“Ada desa yang dianggap masuk di dalam konsesi perusahaan tambang emas, lalu penduduknya diusir dari desa,†kata Deny Rahardian, Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Selasa (26/5).
Deny menjelaskan, untuk membuktikan wilayah dari masyarakat adat, para aktivis berusaha melakukan pemetaan. Mereka menggunakan metode pemetaan partisipatif. Hasilnya, peta tersebut yang digunakan sebagai alat untuk melakukan perlawanan.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat adat beragam. Kebanyakan dari mereka menggunakan cara keras dan terbuka. Namun, para aktivis datang dan mengajarkan cara halus untuk memperjuangkan wilayah adat mereka. Peta partisipatif adalah salah satu cara bagi masyarakat adat untuk membela dan menjaga wilayahnya.
Dengan peta tersebut, masyarakat adat bisa membuktikan dan menunjukkan sejarah wilayahnya. Masyarakat adat melakukan perlawanan terhadap sebuah perusahaan yang tiba-tiba datang dan mengklaim sebuah wilayah adat.
“Peta itu digunakan di pengadilan dan dimenangkan oleh masyarakat. Ibu Mimi bisa keluar dari penjara,†ungkap Deny.
Pemetaan partisipatif digunakan untuk mempertegas batas-batas wilayah dari suatu masyarakat adat. Banyak peta-peta yang sudah dimiliki oleh sejumlah badan pemerintahan. Namun, masih ada peta yang saling tumpang tindih.
Beny mengatakan perjuangan masyarakat adat tidak lepas dari peran Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. AMAN adalah badan yang mendorong putusan MK No 35/PUU-X/2012 terlahir. Putusan yang menyatakan hutan adat bukan menjadi bagian dari hutan negara.
Putusan ini membuat masyarakat adat memiliki rasa nyaman. “Tapi ini tahap awal, yang saat ini terus didorong yaitu RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat,†ungkap Deny.
Namun, Deny mengatakan, putusan MK tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi masyarakat adat untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa masyarakat adat itu ada. Ia menjelaskan, adanya payung hukum bagi masyarakat adat semakin menguak kasus sengketa yang selama ini terjadi.
Putusan MK dan sejumlah UU dianggap sebagai peluang alternatif penyelesaian konflik lahan antar masyarakat adat, lokal, dengan izin untuk membuka tambang dan menebang hutan atau pemerintah.
“Kalau dulu, tidak ada peluang sama sekali bagi masyarakat untuk penyelesaian sengketa tanah,†ungkapnya.
Namun, dengan adanya perkembangan pemerintahan yang lebih bersangkutan dengan peraturan, membuka peluang-peluang penyelesaian konflik lahan. Peluang yang tentunya lebih berpihak kepada masyarakat adat.
Sumber: http://geotimes.co.id/perjuangan-pemenuhan-hak-masyarakat-adat/