Rencana Badan Pertanahan Nasional, yang akan membagikan tanah seluas 8,15 juta hektar kepada masyarakat miskin, diragukan oleh banyak pihak. Apalagi, sebelumnya pemerintah juga pernah membagikan tanah kepada petani, tetapi bukan tanah yang subur untuk ditanami.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Cindelaras Francis Wahono dan anggota Komisi IV DPR, Bomer Pasaribu (Fraksi Partai Golkar, Sumatera Utara III), Kamis (14/12).
Francis mengungkapkan, pemerintah jangan sembarangan menyusun sebuah pembaruan agraria tanpa membuat kajian terlebih dahulu. Kalau pemerintah memang akan membagi tanah kepada masyarakat miskin harus tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Harus jelas, masyarakat miskin yang mana dan pengusaha siapa yang akan mendapatkan tanah itu. Kalau tidak, bisa saja malah berpotensi konflik. Ini jangan dipakai untuk promosi seakan pemerintahan Yudhoyono berpihak kepada rakyat kecil, berbahaya nanti,” kata Francis.
Ia mencontohkan sebuah daerah di Jawa Barat, ada beberapa hektar tanah yang diberikan kepada masyarakat, tetapi tidak sampai satu bulan, sertifikat berpindah tangan kepada pengusaha. “Atau kalau tidak, pemerintah memberikan lahan hutan atau kebun yang sudah rusak untuk digarap masyarakat. Kalau tanah itu sudah subur, negara memintanya kembali,” kata Francis.
Padahal, menurut dia, pembaruan agraria adalah memberikan hak milik atau guna kepada petani dengan tanah-tanah subur siap ditanami petani dengan aneka pangan yang harga dan pembelian dijamin pemerintah.
Senada dengan Francis, Bomer Pasaribu menilai janji BPN itu seperti lagu lama. Hal itu karena UUPA sudah memerintahkan pemerintah untuk memberikan tanah kepada masyarakat, tetapi kenyataan itu tidak pernah ada sampai sekarang.
“Kalau memang janji itu ada, masyarakat bisa menagih kepada pemerintah,” katanya. (SIE)
Add Comment