Pemetaan Partisipatif

Ratusan Nelayan Hadang Kapal Alat Berat Tambang Masuk Bangka

Penolakan warga terhadap pertambangan di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), tampak tak digubris meskipun mereka telah mengantongi keputusan Mahkamah Agung (MA). Terbukti, pada Selasa (18/2/14), kapal yang mengangkut alat berat PT Mikro Metal Perdana (MMP) memasuki perairan Pulau Bangka. Puluhan kapal nelayan pun berusaha menghalangi  kapal itu masuk ke Desa Kahuku.

William Hadinaung, warga Desa Kahuku, mengatakan, sejak pukul 7.00 pagi ratusan warga berkumpul di tepi pantai, mempersiapkan perahu menghadang alat berat ke desa itu.

Sekitar pukul 9.00, kapal pengangkut alat berat sudah terlihat di perairan Pulau Bangka. Kapal itu, mengangkut alat-alat berat seperti sebuah eskavator, tiga dam truck dan satu louder. Tak hanya itu, di dalam kapal itu, sejumlah aparat negara nampak terlihat. Ada polisi dan Kepala Dinas pertambangan Minahasa Utara (Minut).

Nelayan bergegas menghadang dengan perahu agar kapal pengangkut alat berat tidak berlabuh di desa mereka. Di perairan, adu mulut antara warga Desa Kahuku dengan aparat kepolisian tidak terhindarkan. Mereka saling mempertahankan pendapat masing-masing. William menilai, aksi ini terjadi karena aparat kepolisian tidak mau tahu dengan putusan MA.

“Mereka kebal hukum. Putusan MA yang berpihak pada warga Pulau Bangka tidak dihormati. Akhirnya, pemerintah dan pengusaha berkolaborasi merampas hak masyarakat di pulau ini,” kata William kepada Mongabay via telepon dari Manado.

Dia khawatir, jika tambang beroperasi di Bangka, dalam 20 tahun ke depan pulau ini akan mengalami kerusakan parah.

Maria Taramen, Ketua Tunas Hijau, menambahkan, aparat kepolisian sempat ancang-ancang menembaki warga yang menghadang. Terlebih kala, melihat warga yang kesal menumpahkan bensin ke laut. Dalam keadaan mencekam itu, seorang anggota brimob mengarahkan senjata ke arah warga. “Sekitar pukul 1.30, seorang Brimob mengangkat senjata, mungkin untuk menakut-nakuti warga. Terkejut dengan aksi tadi, kami langsung merunduk,” ucap Maria.

Menurut dia, Kapolda Sulut memiliki andil besar lewat instruksi pengamanan kapal pengangkut alat berat ini. Hal ini, diketahui kala berkomunikasi dengan sejumlah aparat kepolisian yang ditugaskan di pulau ini. “Pemerintah dan aparat kepolisian tidak mau mendengarkan masyarakat. Mereka begitu terlihat memaksakan kehendak dan berpihak pada investor asing.”

Kapal pengangkut alat berat tambang dikawal brimob dan Kadis Pertambangan Minahasa Utara. Foto: Save Bangka Island

Angelin Palit, Direktur Walhi Sulut, menyesalkan intimidasi kepada warga Bangka. Menurut dia, pengabaian putusan MA, merupakan tindakan tidak menghormati hukum di negara ini. “Pemerintah daerah harusnya tanggap dengan keadaan ini. Jika tidak diinginkan terjadi di Bangka, kita semua yang akan merasakan kerugian.”

Untuk itu, Walhi Sulut terus mendorong pelibatan warga Pulau Bangka dalam pembangunan, salah satu lewat pembuatan peraturan desa  (perdes) di pulau itu. Perdes ini, fokus pembuatan tata ruang. “Jadi akan diketahui keinginan masyarakat, termasuk ada tidaknya aktivitas pertambangan di Pulau Bangka.”

Pada awal November 2013, MA telah menolak kasasi hukum Bupati Minahasa Utara, Sompie Singal, dan MMP, mengenai izin eksplorasi tambang biji besi di Pulau Bangka. Dalam putusan itu, MA memperkuat putusan PTUN Makassar menolak investasi tambang di pulau ini.

Konflik di Pulau Bangka bermula tahun 2010, ketika warga mengetahui izin eksplorasi diberikan Bupati Minahasa Utara kepada MMP. Padahal, pulau ini hanya memiliki luasan sekitar 4.800 hektar dan areal tambang biji besi diperkirakan mencapai 2.000 hektar.

Masalah bertambah pelik kala tersiar rencana pemindahan masyarakat Desa Kahuku dari tempat tinggal mereka. Keadaan ini membuat warga kesal. Pemerintah dinilai lebih berpihak kepentingan pemodal dengan mengabaikan hak hidup masyarakat banyak.

“Masyarakat di pulau ini menolak kehadiran tambang. Karena itu, sebagai wakil rakyat, pemerintah harus berpihak pada warga Pulau Bangka. Bukan investor. Kami menuntut Bupati Minut segera mencabut izin pertambangan ini,” kata William.

Tak hanya warga lokal Pulau Bangka yang siap melawan, juga warga dari pulau di sekitar seperti Kinabuhutan, Talisei, dan Likupang. Mereka berhadap-hadapan dengan polisi dan brimob, dan ormas pro-tambang. Ratusan dari mereka menyebut diri sebagai Pasukan Manguni atau burung hantu kecil, simbol daerah Minahasa. Mereka telah sampai di pulau sejak kemarin setelah rapat antara MMP dan pemuka adat yang diundang Bupati Minut.

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, berupaya mencegah dan berbicara langsung dengan asisten Bupati Minut, Kapolda, dan angkatan laut. Sayangnya, usaha Sandra seakan tak didengar. Begitu pula surat resmi Komnas HAM.

Maria menduga, perseteruan antara preman dan warga sengaja diciptakan. “Sekarang ketakutan kami makin parah. Pertumpahan darah di depan mata. Hanya warga lokal yang nanti jadi korban. Politisi-politisi di pemerintahan Sulut harus bertanggung jawab.”

Kini, sebuah petisi di change.org yang mendukung penyelamatan Pulau Bangka, yang digagas oleh Kaka Slank, sudah memperoleh 18.300-an dukungan dari berbagai penjuru dunia.