Pemetaan Partisipatif

Reforma Agraria Harus Serius

Hasil rekaman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam kurun waktu 11 tahun sejak 2004 hingga 2015 telah terjadi 1.772 konflik di Indonesia. Konflik tersebut mencapai luas wilayah 6.942.381 hektare yang melibatkan hingga 1.085.817 kepala keluarga.

Sekjen KPA Iwan Nurdin menerangkan, sepanjang tahun 2015 telah terjadi 252 kejadian konflik di Indonesia. Konflik tersebut jalurnya tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun sebelumnya dan dinyatakan terus terjadi pengulangan motif yang sama.

Padahal, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) menegaskan akan melakukan reforma agraria yang dituangkan dalam nawacita. Dalam rekam jejak tersebut dijabarkan, Provinsi Riau merupakan penyumbang konflik terbanyak dengan jumlah 36 konflik atau 14,4 persen. Tempat kedua diisi oleh Jawa Timur dengan jumlah 34 konflik atau 13,6 persen. Bertutut-turut daerah lima besar yang menyumbang konflik adalah  Sumatra Selatan dengan 23 konflik atau 9,2 persen, Sulawesi Tenggara 16 konflik atau 6,4 persen, serta Jawa Barat dan Sumatra Utara yang menyumbang 15 konflik atau 6 persen.

Sedangkan, dalam hal sektoral, yang menyumbang konflik terbanyak adalah perkebunan dengan jumlah 127 konflik atau 50 persen. Hal ini berbeda dengan tahun 2014 yang didominasi konflik dalam sektor infrastruktur. “Menggapa tidak infrastruktur lagi? Karena pembangunan banyak terjadi tahun 2014,” ujar Iwan kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Pada 2015, sektor infrastruktur menempati posisi kedua dengan jumlah 70 konflik atau 28 persen. Dilanjutkan dengan sektor kehutanan 24 konflik atau 9,60 persen, sektor pertambangan 14 konflik atau 5,2 persen, sektor pertanian dan kelautan 4 konflik atau 2 persen, dan lainnya ada 9 konflik atau 4 persen.

Meningkatnya konflik agraria di sektor perkebunan, menurut Iwan, menunjukkan perluasan lahan dan operasi perkebunan semakin meluas. Salah satu komoditas yang perlu diperhatikan adalah kelapa sawit.

Menurut Iwan, dalam kurun waktu lima hingga enam tahun berikutnya, diperkirakan kelapa sawit akan memberikan konflik agraria yang parah. Di samping memperparah ketimpangan struktur penguasaan tanah, kelapa sawit akan menyebabkan konflik di lapangan.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia Syahrul Limpo jika permasalahan kelapa sawit masih menjadi pekerjaan besar yang sulit diselesaikan pada tahun 2015. Perlu penyelesaian secara serius dan hal tersebut ditekankan dengan direncanakannya pembuatan desk khusus di setiap provinsi untuk menyelesaikan kasus per kasus, termasuk dalam masalah kelapa sawit.

Perlu ada campur tangan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Pemerintah Daerah untuk melakukan penataan. Gubernur Sulawesi Selatan ini menegaskan, penataan aturan yang ada tidak bisa lepas untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan kebutuhan daerah. Harus ada manfaat sosial yang dirasakan oleh masyarakat dalam pengelolaan sektor agraria.

Bermasalahnya sektor perkebunan diperkuat dengan temuan KPA yang mendapatkan data seluas 302.526 hektare dari 400.430 hektare luas total area konflik agraria tahun 2015. Jumlah tersebut berbanding jauh dengan kehutanan dengan jumlah 52.172 hektare, pertambangan 21.127 hektare, pesisir-kelautan 11.231 hektare, infrastruktur 10.603 hektare, pertanian 940 hektare, dan lain-lain seluas 1.827 hektare.

Sekjen Serikat Tani Indramayu (STI) Abdul Rozak menceritakan, dirinya pernah berurusan dengan permasalahan sengketa tanah dalam bidang perkebunan. Konflik agraria yang terjadi sekitar tahun 2013 tersebut terjadi karena akan dibangunnya Waduk Bubur Gadung di Desa Loyang, Indramayu.

Dalam peristiwa tersebut, terjadi konflik penggusuran paksa yang berbuah penahanan dirinya dan satu rekan selama 1,5  tahun. “Kalau mau sertifikat, orang dulu mana ngerti. Kartu nikah aja nggak punya. Ini jadi sasaran empuk bagi pihak pengusaha. Kita nggak bisa membuktikan terus tergusur jadi proyek,” kata Rozak.

Rozak menegaskan, permasalahan konflik agraria akan selalu ada selama pemerintah belum dapat memfasilitasi kebutuhan pertanahan masyarakat. Penuntasan permasalahan yang menimbulkan konflik seharusnya dapat diselesaikan dari pusat hingga daerah. Butuh regulasi dan implementasi yang saling mendukung, bukan hanya tumpang tindih peraturan yang justru menjadi pemicu konflik agraria yang baru.

Apalagi, dalam setiap konflik yang terjadi sering kali dibarengi dengan kekerasan kepada warga yang sebelumnya sudah menempati lahan. Dalam data KPA, pada tahun 2015 terjadi 93 kasus kekerasan.

Jumlah tersebut terdiri 35 kasus yang melibatkan perusahaan, polisi (21 kasus), TNI (21 kasus), pemerintah (10 kasus), dan preman (8 kasus). Dari 93 kasus kekerasan yang terjadi, sebanyak 446 orang menjadi korban kekerasan. Jumlah tersebut terdiri dari 5 orang tewas, 39 tertembak aparat, 124 orang dianiaya atau mengalami luka-luka, dan 278 orang dikriminalisasikan.

Menurut penilaian sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruaida Noor, konflik agraria tidak dapat dimungkiri sering kali menempatkan masyarakat dalam posisi dilemahkan. Hal tersebut disebabkan sumber yang dilawan lebih berkuasa dan kuat, sedangkan masyarakat hanya mengandalkan kekuatan kolektif. Sehingga, masyarakat selalu menjadi pihak yang kalah dan menjadi korban, baik dalam segi ekonomi maupun sosial.

“Jika lahan tersebut pindah penguasaan, masyarakat tentu akan kehilangan resources utama. Karena itu, tidak heran masyarakat sekitar perusahaan kondisi hidupnya rentan dan yang semula bekerja otonom, kini menjadi bergantung pada sumber-sumber lain,” kata Ida.

Menanggapi konflik agraria yang tidak kunjung selesai, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kurniawan Sabar mengatakan, perlu ada perbaikan yang dilakukan secara besar-besaran terhadap struktur agraria. Salah satunya seputar monopoli kepemilikan tanah terhadap kepemilikan lahan oleh perusahaan besar. Negara harus mampu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh atas sistem agraria yang ada di lapangan. Bukan hanya membenahi dalam persoalan struktur, menurut Kurniawan, melainkan juga lebih menekankan pada pengelolaan yang profesional dan keseriusan penyelesaian konflik-konflik yang telah, sedang, dan akan muncul.

Sayangnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang belum bisa dikonfirmasi. Permohonan wawancara Republika melalui pejabat terkait tak direspons.  c27, ed: Muhammad Hafil

***
Penyumbang Konflik Agraria 2015
1. Provinsi Riau: 36 konflik atau 14,4 persen
2. Provinsi Jawa Timur: 34 konflik atau 13.36 persen
3. Sumatra Selatan: 23 konflik atau 9,2 persen
4. Sulawesi Tenggara: 16 konflik atau 6,4 persen
5. Jawa Barat dan Sumatra Utara: 15 konflik atau 6 persen

Sumber: Konsorsium Pembauran Agraria

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/podium/16/01/27/o1lq8a5-reforma-agraria-harus-serius