Pemetaan Partisipatif

Rencana Pemerintah menjalankan “Refroma Agraria” di Indonesia

Peringatan Hari Pangan Sedunia itu dilaksanakan sekaligus merespon hasil rapat terbatas antara Presiden RI dengan para pembantunya yakni Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 28 September 2006 lalu. 

Hasil rapat terbatas itu mengungkapkan bahwa pemerintah akan melaksanakan reforma agraria. Rencananya, akan ada redistribusi lahan eks HPH/HTI seluas 9 juta ha diseluruh Indonesia, dengan komposisi 60% untuk masyarakat dan 40% untuk investor dalam dan luar negeri. Juga redistribusi lahan seluas 8, 15 juta ha, yang sekitar 2,5 juta ha diperuntukkan khusus bagi perkebunan sawit dan tebu . Sisanya termasuk didalamnya 1,5 juta ha lahan yang dikelola oleh Perhutani di Pulau Jawa,

akan dibagikan kepada para petani. Rencana itu disebut pemerintah sebagai program konkrit dari ketahanan pangan, pembangunan hutan tanaman industri, dan reforma agraria (Medan Bisnis, 29/09/06).

Menyikapi pengumuman tersebut, kami menyampaikan pandangan sebagai berikut:

Kami memandang bahwa Program Reforma Agraria sebenarnya bukanlah sebuah kebijakan baru di Indonesia. Reforma Agraria adalah cita-cita dari kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan, kebahagian dan kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut maka dibuatlah UUPA 1960.

Namun dalam kenyataannya, Reforma Agraria sebagai salah satu kewajiban pemerintah belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA, justru menyelewengkannya dengan menerbitkan berbagai undang-undang yang sifatnya sektoral seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Pertambangan dan undang-undang lainnya.

Kami menyadari bahwa tanpa dilaksanakannya reforma agraria sejati maka untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan merupakan hal yang mustahil. Sebagaimana masyarakat mahfum, sekarang ini kepemilikan dan penguasaan agraria sudah demikian timpang. Sebagai akibatnya terjadi berbagai konflik agraria, tingginya jumlah buruh migran, pengangguran, urbanisasi, dan meningkatnya keluarga petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Ketidakadilan agraria ini juga menjadi akar penderitaan, kemiskinan, gizi buruk, dan busung lapar petani miskin maupun masyarakat miskin lainnya dipedesaan dan perkotaan.

Kami memandang bahwa reforma agraria sejati, merupakan jalan bagi terciptanya tatanan struktur agraria yang berkeadilan. Dimana dalam reforma agraria itu beberapa diantaranya terdapat program land reform, termasuk tata produksi yang adil dan penciptaan distribusi hasil yang berkeadilan. Dengan demikian ketimpangan antara kota dan desa akan menghilang bahkan industri nasional akan semakin kuat.

Kami memandang bahwa keberhasilan landreform setidaknya memerlukan enam syarat utama. Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah harus memahami, minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat misalnya dilakukan secara drastis, ada ukuran jangka waktu tertentu dan terencana.

Dengan demikian, kami meletakkan rencana pemerintah untuk meredistribusi lahan dalam kerangka yang lebih kritis. Informasi dari koran saja belum cukup memadai untuk menggambarkan bagaimana redistribusi lahan itu akan dijalankan. Perlu informasi lebih dalam mengenai latar belakang, tujuan dan siapa yang menerima manfaat sebenarnya. Oleh karenanya Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional perlu dan penting untuk menjelaskan lebih lanjut dan gamblang tentang rencana itu kepada masyarakat, bahkan Presiden sendiri perlu menjelaskannya. Juga harus dipastikan bahwa program reforma agraria yang direncanakan itu harus sepengetahuan dan di setujui oleh DPR RI.

Untuk itu kami menyatakan sikap atas rencana pemerintah mengalokasikan lahan untuk rakyat/menjalankan “reforma Agraria” haruslah dalam kerangka reforma agraria sejati yang sesuai dengan asas-asas dan prinsip dari UUPA 1960. Sehingga tidak dijadikan sebagai alat legitimasi bagi dilaksanakannya reforma agraria berdasarkan keinginan modal dan kebijakan yang setengah-setengah. Karena praktek landreform yang sesungguhnya tidak dikenal tanah untuk investor, tapi tanah untuk petani/penggarap (land to the tiller).

Atas pandangan-pandangan tersebut diatas, maka dengan penuh kesadaran kami menuntut::

1. Pemerintah segera menjalankan reforma agraria sejati yang diamanatkan oleh UUPA 1960
2. Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan konflik agraria dengan mengutamakan keberpihakan
dan keadilan kepada petani, nelayan dan masyarakat adat.
3. Negara untuk mencabut segala peraturan dan perundangan yang bertentangan dengan reforma agraria
sejati dan dilaksanaknnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960 secara konsekwen

Pada kesempatan ini juga kami menyerukan kepada seluruh elemen organisasi petani, nelayan, masyarakat adat, pemuda, mahasiswa dan kaum miskin kota untuk menggalang kekuatan melaksanakan reforma agraria sejati

Informasi lebih lanjut: :
Henry Saragih (Sekretaris Jenderal, FSPI) 0816 3144441
Achmad Ya’kub (Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye, FSPI) 0817712347