BENGKULU, KOMPAS.com – Pelaksana Tugas (Plt), Sekda Pemprov Bengkulu, Sumardi, mengaku pemprov menyiapkan rencana pembentukan satuan tugas penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam di daerah itu. Satgas tersebut dibentuk mengingat tingginya konflik agraria baik yang terbuka maupun tersembunyi di Provinsi Bengkulu.
“Saat ini, kami sedang siapkan rencana tersebut dengan membuka konsultasi dari banyak pihak, termasuk kawan-kawan dari LSM, kebanyakan konflik terjadi karena sering salah komunikasi antara semua pihak, dalam hal ini perusahaan, masyarakat dan lainnya,” kata Sumardi, Selasa (14/4/2015).
Konflik agraria dan sumberdaya alam tergolong tinggi terjadi di Bengkulu antara-masyarakat dan perusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak sedikit masyarakat yang kebanyakan petani harus dipenjara, atau meninggal karena ditembak aparat.
Rencana Pemprov Bengkulu membentuk Satgas resolusi konflik agraria disambut baik oleh Yayasan Akar, salah satu lembaga sipil yang bekerja pada komunitas masyarakat adat di Bengkulu.
Direktur Yayasan Akar Erwin Basyrin, menyambut langkah tersebut sangat positif, mengingat potensi dan konflik agraria dan sumberdaya alam yang tinggi terjadi di Bengkulu. Ia mencontohkan terdapat 116 desa definitif di Bengkulu berada di Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kabupaten Kaur dan lainnya masuk dalam kawasan hutan, baik taman nasional maupun hutan lindung lainnya.
“Desa tersebut secara UU tentu melanggar berada di wilayah hutan lindung namun apakah mereka harus diusir? Karena jika dilihat secara konstitusi wilayah adat mereka juga diakui negara,” kata Erwin.
Menurut Erwin, di Bengkulu hampir separuh kawasannya adalah hutan termasuk kawasan lindung. Jauh sebelum negara ada telah muncul ratusan komunitas adat yang menetap dan bermukim secara temurun.
Selanjutnya, Negara memilah kawasan hutan tersebut menjadi hutan lindung, taman nasional dan sebagainya. Kondisi ini menyebabkan ratusan komunitas masyarakat adat tersebut menjadi seolah melanggar aturan.
Tak sedikit masyarakat harus menerima hukuman penjara karena dianggap melanggar UU. Ia mencontohkan beberapa kabupaten di Bengkulu di Lebong. Warga desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tak jarang mereka harus berhadapan dengan aparat kepolisian karena wilayahnya berbatasan langsung dengan TNKS.
Ia lalu mengingatkan Pemerintah agar segera mempelajari dan mengimplementasikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 Tahun 2013 yang menyebutkan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan Negara.
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/04/14/10452841/Resolusi.Konflik.Agraria.Ini.Langkah.Pemprov.Bengkulu