Pemetaan Partisipatif

RUU PENATAAN RUANG DIHARAPKAN AKOMODIR MASALAH PEMANFAATAN RUANG

Pemanfaatan ruang di Kalimantan Selatan masih mengalami tumpang tindih. Diperkirakan sekitar 60-70 % mengalami hal itu. Tumpang tindih itu baik dalam pemanfaatan ruang perkebunan dengan kehutanan, perkebunan dengan pertambangan, maupun kehutanan dengan pertambangan. Karena itu, dengan adanya Rancangan UU Penataan Ruang yang saat ini sedang dibahas di tingkat Pansus DPR diharapkan bisa mengakomodir permasalahan tersebut, sehingga bisa memberikan kepastian bagi daerah. “Karena pada kenyataannya kita dihadapkan pada pilihan apakah pertambangan dulu baru nanti dijadikan kawasan hutan, misalnya Hutan Tanaman Industri, atau pertambangan dulu baru dijadikan kawasan budidaya, misalnya perkebunan. Ini harus ada alternatif yang bisa terakomodir di dalam RUU PR,”jelas Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin di Banjarmasin Rabu (28/6)

Sementara ini, yang terjadi adalah pinjam pakai. Sebagai contoh, kawasan HTI, karena di kawasan itu ada pertambangan, kemudian dengan persetujuan Menteri Kehutanan dilakukan pinjam pakai. Masalah lain, masih ada perbedaan rencana pemanfaatan ruang antara RTRW Provinsi dengan RTRW kabupaten/Kota, sehingga bermasalah pada saat pemanfaatan di lapangan. Ini terjadi karena RTRW Kab/Kota saat disusun mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kabupaten/kota sejajar dengan provinsi.

Selanjutnya juga masih ada dokumen RTR pada berbagai sektor atau instansi yang tidak konsisten dan bahkan tidak hirarkis dengan RTRW Provinsi. Dengan kata lain, Tata Ruang Nasional tidak berkesesuaian dengan RTRW Provinsi. Mengenai tidak adanya sinkronisasi dalam penataan ruang antara provinsi dan kabupaten/ktoa tersebut, juga diakui oleh Wakil Bupati Kotabaru Fatizanolo Saoiago. Ia mengatakan banyak pembangunan yang belum dilaksanakan karena tidak adanya sinkronisasi antara RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota. Karena itu, diharapkan dengan adanya RUU PR itu ke depan RTRW di daerah menjadi satu kata.

Sementara itu secara terpisah Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang di Palangkaraya, mengatakan ada beberapa pasal dalam RUU PR yang memerlukan semacam penguatan-penguatan lagi, terutama diperlukan adanya suatu sinkronisasi terhadap perundang-undangan yang ada. Karena kalau melihat RUU PR yang ada, penataaan ruang harus juga melihat peranan Pemda, khususnya dengan mempelajari secara mendalam makna yang termuat dalam UU no. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam kaitannya dengan pemanfaataan ruang, jangan karena Kalteng banyak memiliki kawasan lindung dan taman nasional, maka penduduk Kalteng hanya menjadi penjaga taman nasional. Wakil Gubernur Kalteng A. Dairan menjelaskan 17% dari total wilayah Kalteng untuk kawasan permukiman dan kawasan pengembangan lainnya, sedangkan 83% sisanya untuk hutan. “Bagaimana bisa maju, kalau suatu daerah dipertahankan 83%hutan,”ujarnya.

Gubernur mengatakan, kendati Kalteng mempunyai kekayaan alam yang cukup melimpah, namun tingkat kemiskinannya cukup tinggi, yakni 41,58%. “Jadi, omong kosong kalau orang bilang Kalteng kaya raya,”ujarnya. Karena itu, ke depan Kalteng meningkatkan kawasan permukiman dan pengembangan lainnya sebesar 38% dan 62% sisanya untuk hutan. (sri/pt)

Pusat Komunikasi Publik