Pemerintah tengah mempersiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Pertanahan. Pembahasan RUU tersebut diharapkan menjawab permasalahan pertanahan dan agraria di Tanah Air. Pemerintah harus menjamin, RUU itu menjawab kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan korporasi.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, menuturkan Pasal 12 dan 13 Undang Undang no. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria telah menegaskan pemberian hak atas tanah bagi lapangan usaha haruslah diprioritaskan untuk usaha bersama, gotong royong, mencegah monopoli tanah dan penghisapan manusia atas manusia.
“Lapangan usaha semacam ini, dalam penjelasan dimaksudkan untuk membentuk kapital progresif domestik,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Selama ini Hak Guna Usaha (HGU) dimaknai sebagai kelanjutan dari erpacht era kolonial. Sebab perusahaan perkebunan memakai HGU sebagai alas haknya. Padahal, mengacu pada pasal tersebut, seharusnya HGU diprioritaskan untuk koperasi petani atau bentuk badan usaha bersama pertanian lainnya yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan.
“Di sanalah perbedaan mendasarnya. Tujuannya menciptakan formasi modal nasional yang dimiliki petani. Keuntungan dinikmati rakyat dan direinvetasi di tengah tengah rakyat,” kata Iwan.
Pasal-pasal dalam UU Pokok Agraria telah membuka kerangka sebuah reforma agraria dengan wujud subjek berupa badan usaha koperasi, organisasi petani, buruh kebun dalam sebuah bentuk usaha bersama.
“Ini visi besar, di mana negara mengidealkan bahwa usaha perkebunan modern dimiliki oleh rakyat,” sebutnya.
Jika mengacu pada pemahaman tersebut, kebijakan pendidikan, perbankan, pertanian dan pemberian hak haruslah bersinergi dalam rangka memberikan HGU kepada koperasi atau badan usaha milik rakyat lainnya.
“Namun kita tahu, telah terjadi penyelewengan dalam pelaksanan HGU yang tak ada bedanya dengam erpacht Belanda. Karena itu RUU Pertanahan harus menjawab masalah ini,” tandasnya.
Sementara itu, pakar hukum agraria Achmad Sodiki mengatakan masalah pertanahan sendiri sudah diatur pada Undang Undang Pokok Agraria. “Sebagai Undang-undang, kita tidak hanya bisa menginginkan penyelesaian dari masalah yang sekarang ada, tapi harus bisa juga memprediksi perkembangan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Sodiki, RUU ini juga harus bisa mengantisipasi apa yang akan timbul di masyarakat. Hal ini bertujuan agar ketika sudah diundangkan dan masyarakat berubah, undang undang bisa mengikuti. Jika tidak bisa mengikuti perkembangan masyarakat yang terus berubah, maka UU akan dikatakan tidak lagi cocok.
Dia mencontohkan, pada tahun 1960 tujuan UU Pokok Agraria adalah menumbangkan puncak modal asing yang memeras bangsa dan mengakhiri tindakan aparat-aparat yang mengadu domba masyarakat dengan pemerintah.
“Setelah lebih dari 50 tahun, kita bisa bertanya apakah sengketa tanah sudah berakhir antara pemerintah dengan rakyatnya sendiri. Saya rasa belum. Berarti UU Pokok Agraria tahun 1960 masih,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah menyiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU tersebut.
“UU Pertanahan yang diusulkan DPR sedang kita siapkan DIM-nya nanti kita sampaikan,” ujar Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan.
Sumber: http://www.rmol.co/read/2016/06/06/248911/RUU-Pertanahan-Kudu-Pro-rakyat-