Pemetaan Partisipatif

Soal Penolakan Masyarakat Muara Tae, Berikut Tanggapan RSPO

Warga Muara Tae mengawasi operasi bulldozer. Sumber: Indiegogo team
Warga Muara Tae mengawasi operasi bulldozer. Sumber: Indiegogo team

Masyarakat adat Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur, mengirim surat penolakan proses penyelesaian konflik warga dengan PT Borneo Mining Jaya,  kepada Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Warga menilai, cara-cara penyelesaian cacat dan banyak kejanggalan. 

Apa tanggapan RSPO terhadap persoalan ini? Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, membenarkan, RSPO menerima surat penolakan masyarakat Muara Tae terhadap proses penyelesaian konflik pada Februari 2015.

Selama proses penyelesaian pengaduan, katanya, RSPO aktif memberikan perkembangan dan informasi terbaru kepada semua pihak. Baik, melalui surat elektronik, pesan singkat elektronik (SMS), telepon, serta langsung perorangan.

“Pada 5 Februari 2015, kami menerima surat yang dikirimkan melalui surat elektronik dari masyarakat Muara Tae. Kami menghargai keputusan dan pandangan mereka seperti disampaikan di dalam surat  itu,” katanya dalam surat elektronik kepada Mongabay, Selasa (17/2/15).

Pada hari sama, kata Dewi, sebenarnya RSPO sedang memfasilitasi pertemuan para pemangku kepentingan mengenai kasus pengaduan ini di Samarinda, Kaltim. Kegiatan ini, berdasarkan persetujuan semua pihak termasuk pengadu, yaitu Muara Tae, Environmental Investigation Agency (EIA), dan AMAN. Lalu, perwakilan masyarakat Muara Ponak, Links, dan BSMJ. “Semua menghadiri pertemuan sebelumnya di Balikpapan pada 11 Desember 2014.”

Sayangnya, kata Dewi, masyarakat Muara Tae tidak hadir pada pertemuan 5 Februari 2015, termasuk yang diadakan di Bogor, 23 Oktober 2014. “Mereka menyatakan keluar dari proses karena ketidakpercayaan terhadap sistem RSPO.”

Dia mengatakan, RSPO dan anggota tetap berkomimen menyelesaikan pengaduan berdasarkan keputusan-keputusan yang dibuat panel pengaduan.

Proses penyelesaian pengaduan RSPO, katanya, memiliki mekanisme yang memberikan kesempatan sama bagi pihak yang mengadu dan diadukan untuk klarifikasi. “Ini upaya transparansi dan keadilan. Kami lakukan berbagai proses dan sedang berjalan untuk penyelesaian pengaduan masyarakat Muara Tae, EIA and AMAN, terhadap BSMJ.”

Dia seakan coba membantah protes warga soal kejanggalan dan cacat dalam proses penyelesaian konflik  itu. Dewi mengatakan, sistem pengaduan RSPO dibentuk guna memastikan proses adil dan transparan.

Dewi meyakinkan, RSPO menangani serius setiap keluhan dan memberikan perhatian penuh penyelesaian dengan transparansi dan berkeadilan. Sistem pengaduan RSPO, katanya,  dibentuk guna memastikan proses adil dan transparan dalam penyelesaian masalah terhadap anggota ataupun sistem RSPO.

Meskipun begitu, sistem pengaduan ini tidak sebagai pengganti ketentuan hukum maupun bentuk mekanisme yang dipaksakan. “RSPO juga hormat dan taat terhadap peraturan hukum berlaku,” katanya, tanpa menjelaskan lebih detil mengenai mekanisme yang dipaksakan itu.

Dalam panel pengaduan RSPO,  diwakili para pemangku kepentingan dari semua kategori. Hal ini, katanya,  untuk memastikan obyektivitas dalam meninjau dan membuat keputusan pengaduan. “Semua pengaduan dipublikasikan di website RSPO. Semua perkembangan dan status terbaru masuk. Kami ingin memastikan pihak-pihak yang mengajukan aduan memiliki akses atas informasi, saran maupun keahlian yang diperlukan,” katanya.

Panel Pengaduan RSPO menghasilkan keputusan berupa langkah-langkah harus dijalankan PT BSMJ pada 16 Desember 2013:• Melaksanakan joint mapping (pemetaan bersama) untuk mengidentifikasi dan menentukan lahan yang bersengketa• melaksanakan rencana remediasi dan kompensasi NKT

• bersama dengan masyarakat terkait membentuk mekanisme penyelesaian perselisihan sebagai acuan penyelesaian pengaduan

• memberikan laporan perkembangan atas ketiga hal itu.

RSPO telah beberapa pertemuan antara kedua pihak yang berselisih untuk menyelesaikan isu-isu yang belum ada titik tengah, terakhir pertemuan 5 Februari 2015.

RSPO juga telah menyarankan langkah mediasi yang perlu dilakukan oleh kedua pihak terkait isu batas wilayah.

Sumber: RSPO

Menurut dia, bila perlu atau direkomendasikan panel pengaduan, bantuan akan diberikan kepada para pihak berselisih melalui RSPO Dispute Settlement Facility (DSF). Bagian ini, kata Dewi, akan memfasilitasi para pihak berselisih guna mendapatkan akses informasi, kontak, dan pengetahuan. Termasuk, pengalaman membantu menyelesaikan permasalahan terkait produksi minyak sawit kala ada satu anggota RSPO terlibat.

Pengaduan masyarakat Muara Tae kepada RSPO diwaliki EIA pada 18 Oktober 2012. Warga melaporkan anak usaha First Resources ini,  melanggar prinsip dan kriteria RSPO mengenai penanaman baru bertanggung jawab dan tak mendapatkan persetujuan bebas diinformasikan (free, prior and informed consent/FPIC). Perusahaan juga kurang memperhatikan data kajian kawasan hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV). RSPO membuat kajian awal dan panel pengaduan membuat keputusan pertama pada 10 Desember 2012.

”RSPO lalu menunjuk Moody Intertek sebagai konsultan independen untuk verifikasi terhadap dugaan pelanggaran BSMJ. Verifikasi berlangsung Februari–Maret 2013.”

Untuk penunjukan Links oleh dan dibiayai First Resources yang disetujui RSPO, Dewi beralasan, Links netral. Links ada sebagai fasilitator independen guna joint mapping bersama masyarakat adat.

Links, katanya, menyelenggarakan kegiatan melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat Muara Tae.  Lembaga ini juga mengeluarkan beberapa rekomendasi.

“Dimana di dalamnya memberikan kesempatan semua pihak memberikan masukan, keberatan atau saran. Namun, dia memahami keberatan pengadu mengenai kemungkinan ada konflik kepentingan terhadap Links.”

Untuk itu, guna mendapatkan kajian adil dan independen, panel pengaduan RSPO meminta saran dari RSPO DSF Advisory Group untuk mediasi lanjutan penyelesaian isu batas wilayah dan perselisihan lahan. “Dengan memberikan beberapa pilihan konsultan atau institusi untuk menjalankan participatory mapping dan menindaklanjuti penyelesaian kasus pengaduan,” kata Dewi.

Mengenai perselisihan lahan, dan keterlibatan masyarakat Muara Ponak karena ketika proses pembebasan lahan (atas lahan sengketa dilakukan antara petinggi Muara Ponak dengan BSMJ.  “Jadi, isu batas wilayah perlu didiskusikan dan diselesaikan antara Muara Tae dan Muara Ponak. Kami memahami, isu ini tidak mudah diselesaikan.”

Dia berdalih, BSMJ dan RSPO tak memiliki menentukan batas desa, dan mengikuti peraturan wilayah setempat, yakni, Bupati Kutai Barat.

Dari rekomendasi Links, juga membuka komunikasi dengan Pemerintah Kutai Barat. “Ini memberikan peluang bagi masyarakat yang tidak setuju dengan batas desa berkomunikasi dengan pemerintah daerah. RSPO bersedia menjadi peninjau apabila Muara Tae, AMAN dan EIA ingin menindaklanjuti pengaduan terkait batas desa dengan pemerintah daerah,” ucap Dewi.

Kala itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang selama ini bersama EIA, sebagai pendamping warga, bereaksi soal ini.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, menyambut baik sikap masyarakat Muara Tae itu. “Proses RSPO rumit dan seringkali tidak berpihak pada korban,” katanya seperti dikutip dari Gaung AMAN.

Abdon mengatakan, lebih baik masyarakat adat menempuh jalur perjuangan lewat mekanisme negara, seperti inkuiri nasional daripada memberikan pada organisasi para pemodal. Untuk itu, AMAN–yang baru terlibat dalam RSPO, dengan kejadian inipun akan mempertimbangkan apakah masih tetap atau keluar dari RSPO.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/02/17/%EF%BF%BCsoal-penolakan-masyarakat-muara-tae-berikut-tanggapan-rspo/