Pemetaan Partisipatif

Tapal Batas Picu Konflik Desa vs Perusahaan

Riauterkini-BUKITBATU –Keluarnya izin HTI untuk perusahaan hingga kini terus memicu konflik agraria. Pemerintah Pusat telah mengeluarkan surat kepada sejumlah perusahaan di Riau, sayang tidak mau melihat fakta di lapangan dan hanya berpegangan pada peta buta.

Demikian disampaikan Ponimin, mahasiswa STAI Sungai Pakning pada kuliah umum di Kampus STAI, baru baru ini. Di Kecamatan Bukit Batu hampir merata seluruh desanya bersinggungan dengan perusahaan HTI.

“ Jika tak diatasi, ini ibarat menyimpan bara dalam sekam. Warga antipati dengan perusahaan. Sebaliknya perusahaan bersikukuh atas hak dengan berbekal surat izin. Kami khawatir ini akan menjadi bola panas,” imbuhnya.

Sementara peta yang dianggap masih kawasan hutan, sudah sejak puluhan tahun menjadi pemukiman dan perkampungan. Maka yang terjadi adalah perusahaan berhadapan dengan masyarakat. Pihak perusahaan bersikukuh dengan surat dari Kementerian Kehutanan sedangkan masyarakat bersikukuh untuk mempertahankan karena memnag secara syah telah menggarap hutan menjadi pemukikman dan perkebunan.

Seperti rilis yang diterima redaksi Riauterkinicom, secara resmi warga memang tidak memiliki surat sertifikat tanah, namun secara fisik wargalah yang berhak atas tanah yang sudah digarap. Jika perusahaan memaksakan atas hak surat izin dan warga bertahan, maka terjadi konflik yang bisa menjurus anarkisme. Jika sudah demikian biasanya warga yang disalahkan.

Warga berharap pemkab dan pemprov secepatnya menentukan tapal batas desa. Tapal batas menjadi perkara penting, karena ini akan dipakai pedoman bagi warga dan perusahaan untuk menegaskan lahan milik perusahaan dan warga.

Adapun sejumlah desa di Bukitbatu yang berbatasan dengan opersional perusahaan HTI antara lain; Desa Temiang, Tanjung Leban, Bukit Kerikil, ditambah desa-desa eks transmigrasi di Kecamatan Siak Kecil.

Berkaitan dengan persoalan yang dihadapi warga, anggota DPRD Riau Bagus Santoso dalam kuliah umumnya menjelaskan banyaknya konflik di Riau antara warga dengan perusahaan, telah menyeret berbagai kelompok masyarakat yang menjadi korban anarkis.

“Riau punya potensi konflik agraria. Rata-rata sengketa lahan antara warga dengan perusahaan. Untuk mengatasinya butuh RTRWP, tapi sampai sekarang RTRWP tak kunjung diselesaikan,” kata Bagus Santoso.

Lebih jauh dikatakan Bagus Santoso, semua pihak mesti berani berjuang kepada Pemerintah Pusat tentang kondisi riil di lapangan, yakni data kawasan hutan yang di peta tidak dapat dipedomani. Pemerintah mesti melihat langsung bahwa hutan telah berubah jadi pemukiman dan perkebunan. ***(rls)Â