PONTIANAK – Guyuran ujan tak menyulutkan semangat puluhan warga dari Kabupaten Bengkayang, Kubu Raya, Kapuas Hulu untuk menggelar aksi menuntut reformasi agraria secara nasional oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Aksi di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura itu pun berjalan aman, Senin (20/10) pukul 10.15.
Dari pantauan Pontianak Post, aksi tersebut tidak mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Hanya terliahat aparat dari Satuan Lalu Lintas Polresta Pontianak mengamankan arus lalu lintas. Usai menyampaikan orasi, para peserta aksi pun membubarkan diri.Koordinator aksi Afiq Aziz mengatakan Presiden sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhiyono telah kehabisan waktu untuk menjalankan program pembaharuan agrarian nasional. Pasalnya tidak banyak yang dapat dilakukannya diakhir masa jabatannya meski reformasi agrarian sebagai program prioritas sejak lahirnya Tap MPR nomor XII tahun 2001 tentang agrarian, pengelolaan sumber daya manusia.
Dia menuturkan di era SBY program tersembut terhambat bahkan terhenti. Yang mana penyebabnya tanah yang akan diretribusi lemah dalam pengaturan dan pengadaan. “dalam peraturanya hanya satu objek reforma agraria yang telah diatur lewat peraturan pemerintah, yakni PP nomor 11 tahun 2011 tentang penertiban da pendayaguunaan tanah terlantar yang hingga kini pelaksanaannya belum dievaluasi. Bahkan objek agraria
sampai saat ini belum disahkan,†katanya.
Dia menjelaskan di dalam Undang-undang nomor 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, redistribusi tanah kepada petani bisa didapat dan konsolidasi tanah, tanah Negara bebas dan tanah Negara bekas tanah terlantar, petani bisa mendapatkannya lewat hak sewa dan perizinan. UU itu menunjukan sedikitnya objek reforma agraria dibandingkan dengan yang sebelumnya ada di dalam RPP agrarian.
Dia menyatakan rancangan undang-undang pertanahan jika tak terburu-buru disahkan sebelum masa kerja DPR habis, maka agenda program legalisasi nasional 2015 masih akan membahas RUU Pertanahan yang di dalamnya mengatur objek dan subjek reforma agrarian. “Dalam RUU Pertanahan yang dimaksud objek dan subjek itu diantaranya tanah
negara bekas tanah terlantar, tanah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, tanah negara bebas, serta tanah negara bekas hak barat,†ucapnya.
Di Kalimantan Barat, lanjut dia luasan tanah yang dikuasi industry ekstratif antara lain, perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari empat juta hektare, hutan tanaman industri lebih dari dua juta hektare, pertambangan lebih dari lima juta hektare, tanaman nasional lebih dari satu juta hektare, hutan lindung lebih dari dua juta hektare, cagar alam hanya 153 ribu hektar, taman wisata alam 29 ribu hektar dan suaka alam laut hanya 210 ribu hektar. “Dari data di atas menunjukan keberpihakan pemerintah terhadap perampasan tanah rakyat. Masivenya perampasan itu disertai dengan tindakan kriminalisasi dalam upaya memastikan berlangsungnya investasi sesuai dengan skema,†tegasnya.
Akibat perampasan tanah rakyat itu, dia menambahkan menimbulkan gejolak konflik di setiap kabupaten, dimana di Kubu Raya tercatat 18 kasus, Bengkayang 27 kasus, Ketapang 35 kasus, Kapuas Hulu tujuh kasus, Sambas 20 kasus, Kayong Utara enam kasus, Landak 25 kasus, Kota Pontianak 20 kasus, Singkawang sepuluh kasus, Melawi sembilan kasus, Mempawah lima kasus dan Sintang 14 kasus. “Kami menuntut presiden baru untuk segera menjalankan program pro rakyat terutama pembaharuan agrarian sejati bagi kaum tani,†ujarnya.
Terkait dengan berbagai permasalahan itu, dia menambahkak maka masyarakat yang tergabung di Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalbar menuntut kepada pemerintaha baru untuk melaksanakan reforma agrarian sejati sesuai dengan UU Pokok Agraria (UUPA)Â nomor 5 tahun 1960, tolak master perencanaan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menjadi legitimasi perampasan tanah rakyat dan bertentangan dengan pelaksanaan program agrarian sejati. Tolak kebijakan rencana kenaikan BBM, tariff dasar listrik (TDL)Â dan PDAM karena merupakan skema kebijakan manipulasi rakyat.
Tuntutan lainnya, tolak UU Pilkada tidak langsung, tolak uang kuliah tunggal karena sebagai celah korupsi, laksanakan pendidikan yang ilmiah, demokratis, mengabdi kepada rakyat, naikan upah buruh 50 persen sebagai syarat kesejahteraan, cabut UU Outsourcing, berikan jaminan perlindungan terhadap harga hasil produksi kaum tani, cabut izin-izin perusahanaan yang terbukti melakukan pelanggaran, hentikan kriminalisasi terhadap kaum tani, dan implementasikan keputusan Mahkamah Konstitusi 35 tahun 2012 tentang masyarakat adat, serta cabut UU nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil kerana merupakan privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui hak pengusaan perairan pesisir (HP3). (adg)
Sumber:Â http://www.pontianakpost.com/metropolis/18965-tuntut-pembaharuan-agraria.html