Pemetaan Partisipatif

UU PENATAAN RUANG BARU AKAN LINDUNGI TANAH PERTANIAN

Masalah tanah pertanian seperti konversi lahan pertanian produktif, pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungannya dan pemanfatan lahan yang kurang efisien menjadi tantangan dalam penataan ruang di masa depan. Hal tersebut disampaikan Dirjen Penataan Ruang, Hermanto Dardak pada Seminar Nasional “Reforma Agraria, Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Penataan Ruang Dalam Upaya Pengaturan Tanah Untuk Petani” di Jakarta beberapa waktu yang lalu. 

Menurutnya tantangan tersebut dapat dipecahkan melalui peningkatan kualitas rencana melalui penyiapan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan peraturan zonasi; perbaikan pemanfaatan ruang melalui pengembangan konsep Agropolitan, pengembangan kawasan lindung sebagai retensi air dan pengembangan komoditas unggulan; serta melalui peningkatan pengendalian pemanfaatan ruang melalui pemberian mekanisme insentif – disinsentif dan pengenaan sanksi terhadap pelanggar.

“Mekanisme insentif – disinsentif tersebut merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan penataan ruang.” tegas Dardak. Hal itu, lanjutnya, sudah tercakup dalam Rancangan Undang-undang Tentang Penataan Ruang (RUU PR) yang saat ini sedang dibahas di DPR-RI.

Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) bekerjasama dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi DPRD Provinsi, Asosiasi DPRD Kabupaten dan Asosiasi DPRD Kota seluruh Indonesia dan dibuka oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menghadirkan beberapa pembicara; antara lain DR. Siswono Yudho Husodo selaku Ketua Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) HKTI, Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta), Ferry Tinggogoy (Sekjen APPSI), dan Minarti Monoarfa (Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo).

Dalam keynote speech-nya, Siswono Yudho Husodo menyampaikan bahwa kemajuan yang diperoleh bidang pertanahan sejak terbitnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA) antara lain Pemerintah mampu menyelesaikan 26 juta sertifikat; membagikan 850.000 Ha tanah obyek land reform kepada 2 juta petani; membuka 4 juta Ha areal pertanian baru dan dibagikan kepada lebih dari 2 juta petani; serta BUMN dan swasta membuka sekitar 2 juta Ha kebun baru.

Namun UUPA seringkali tidak mampu menjadi rujukan penyelesaian masalah pertanahan karena bebagai permasalahan; seperti terjadinya pemusatan penguasaan tanah, meningkatnya alih fungsi tanah pertanian, semakin menyempitnya lahan pertanian, fragmentasi pemilikan/penguasaan tanah dan fragmentasi fisik hamparan tanah, bertambahnya jumlah petani gurem dan buruh tani, serta tiadanya jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat tani. ”Untuk itu, diperlukan peningkatan skala usaha petani dan komitmen politik semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan petani” tutup Sarwono. (rdt/gt)

Pusat Komunikasi Publik

120906

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment