Pemetaan Partisipatif

Permudah Pembentukan dan Perizinan Perhutanan Sosial

HAK ULAYAT: Rumah Radakng di Jalan Trans Kalimantan, Desa Lingga Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya yang berdiri di atas tanah hak ulayat masyarakat adat. HARYADI/PONTIANAK POST

PONTIANAK-Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan, Masyhud menyatakan perhutanan sosial merupakan program prioritas Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan yang ingin memberdayakan sekaligus mensejahterakan masyarakat, terutama yang berada disekitar dan di dalam hutan.

“Jika sebelumnya banyak aturan yang mengikat dan tidak memperbolehkan masyarakat secara sembarang mengolah dan memberdayakan hasil hutan, namun saat ini pemerintah ingin memberikan akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengelola dan memberdayakan hasil hutan dalam meningkatkan kesejahtaran hidup sekaligus melestarikan hutan,” paparnya saat dihubungi Pontianak Post, Jumat (20/5).

Intinya kini, pemerintah pusat ingin mendorong masyarakat sekitar hutan membentuk kelompok-kelompok usaha untuk meningkatkan pendapatannya sendiri. Perhutanan sosial sendiri kini telah masuk ke dalam RPJMN, dimana pemerintah pusat telah mencanangkan seluas 12,7 juta hektare bagi perhutanan sosial. “Dalam RPJMN itu pemerintah pusat menargetkan hingga 5 tahun mendatangkan setidaknya akan terbentuk 5 ribu kelompok usaha perhutanan social, dengan rincian target setidaknya setiap tahun terbentuk sekitar 1.000 kelompok usaha masyarakat pengelola perhutanan sosial se Indonesia,” ungkapnya.

Sejauh ini, Masyhud melihat dari 33 provinsi se Indonesia terdapat beberapa daerah yang pembentukan dan pengelolaan perhutanan sosialnya sudah berjalan baik seperti Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Pulau Jawa.

“Beberapa provinsi ini implementasi perhutanan sosialnya sudah menunjukkan hasil yang baik lantaran mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah setempat. Makanya, kedepan kami berharap ada dukungan yang lebih optimal dari setiap pemerintah daerah untuk mensukseskan perhutanan sosial dan memberikan komitmen penuh untuk mengimplementasikan perhutanan sosial hingga mengakomodir program perhutanan sosial ini melalui RPJMD masing-masing daerah,” paparnya.

Di Kalimantan Barat sendiri, menurut dia, dorongan dari pemerintah daerah setempat mengenai perhutanan sosial masih perlu ditingkatkan. Kendati begitu, katanya, sejak awal tahun 2016 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mendorong optimalisasi perhutanan sosial di Kalbar. Misalnya saja dengan turut mencarikan pihak ketiga untuk memasarkan hasil hutan bukan kayu seperti madu di Putussibau. “Sejak awal 2016 lalu, Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan merangkul salah satu perusahaan kosmetik dari luar untuk memasarkan madu hutan dari Putussibau, dan hingga sekarang sudah ada lebih dari 3.500 botol madu hutan asal Putussibau yang telah dipasarkan,” terangnya.

Sementara waktu kerjasama dengan pihak ketiga ini akan dilakukan selama satu tahun. “Agar hasil hutan bukan kayu seperti madu bisa maksimal didapat masyarakat unutk meningkatkan kesejahtraan hidupnya, kami menginginkan agar kelompok masyarakatlah secara swadaya mengelola dan mengolah hasil hutan tersebut secara maksimal,” ungkapnya.

Agar optimalisasi perhutanan sosial maksimal tercapai, kata Masyhud, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga merangkul sejumlah pihak untuk memberikan pendampingan bagi kelompok perhutanan sosial, seperti kemitraan bersama UNDP REDD+ yang hingga sekarang fokus memberikan pendampingan, advokasi perizinan hingga capacity building bagi masyarakat di Sumatera Barat. “Kami berharap kerjasama dalam hal pendampingan mengenai perhutanan sosial yang dilakukan UNDP REDD+ ini juga bisa dilakukan di daerah lainnya di Indonesia, sehingga tujuan utama untuk mengoptimalkan peran hutan sosial dalam mensejahtrakan masyarakat bisa tercapai,” paparnya.

Disinggung soal masih adanya keluhan masyarakat disejumlah daerah mengenai lambannya proses perizinan perhutanan sosial yang diajukan, kata Masyhud, pada dasarnya Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan memberikan kemudahan bagi siapa saja yang mengusulkan perizinan perhutanan sosial selama memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Dia menceritakan, sekitar September tahun 2013 terdapat pengajuan hutan kemasyarakatan dari dua desa di Kubu Raya namun setelah diajukan melalui Dinas Perkebunanan Kehutanan dan Pertambangan Kubu Raya kepada Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan, kala itu masih terdapat sejumlah persyaratan yang dinilai kurang. “Misalnya saja kawasan hutan yang diajukan menjadi hutan kemasyarakatan sangat jauh dari pemukiman masyarakat, dan memang sama sekali belum ada aktivitas,” terangnya.

Setelah usulan tersebut diterima Direktur Perhutanan Sosial pada tahun 2014 dan dikembalikan di Dinas Perkebunan Kehutanan dan Pertambangan Kubu Raya, agar bisa dilengkapi sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi hingga sekarang tidak ada tindak lanjutnya. “Makanya kami tidak bisa melakukan proses lebih lanjut,” ungkapnya.

Masyhud menerangkan pada dasarnya Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan memberikan akses kemudahan bagi masyarakat untuk mengusulkan pembentukan perhutanan sosial selama memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Secara terpisah Ketua Adat Dayak Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya, Nasution menyatakan, hingga kini terdapat sejumlah hutan hak ulayat di beberapa desa Sungai Ambawang. Hutan ulayat merupakan bidang tanah yang diatasnya terdapat hak kewenangan dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Kendati diakui sebagai hutan hak ulayat, namun realisasinya di lapangan hingga saat ini masih ada beberapa hutan hak ulayat yang menjadi bagian dari hutan produksi, termasuk hutan masyarakat adat.

Beberapa desa yang masih memiliki hutan hak ulayat tersebut seperti Desa Lingga, Desa Teluk Bakung, Desa Pancaroba dan Desa Pasak Tiang yang sebagian lahannya telah dikelola perusahaan perkebunanan. “Sepengetahuan saya sejak beberapa tahun lalu sudah ada warga masyarakat dibeberapa desa yang mengusulkan perizinan hutan kemasyarakatan, namun hingga saat ini belum diketahui sejauh mana timdak lanjutnya,” terangnya.

Menilai hutan kemasyarakatan bisa menjadi salah satu wadah masyarakat dalam meningkatkan  mata pencaharian dan kesejahtaran hidup, Nasution berharap kedepan baik itu pemerintah daerah maupun pemerintah pusat bisa lebih mempermudah proses perizinan pengusulan hutan kemasyarakat yang telah diajukan masyarakat, terutama kalangan masyarakat yang seharinya-harinya hidup disekitar hutan. (ash)

 

Sumber : http://www.pontianakpost.com/permudah-pembentukan-dan-perizinan-perhutanan-sosial