Pemetaan Partisipatif

Surat Terbuka Masyarakat Sipil Untuk Komisi Informasi Pusat (KIP)

Surat terbuka masyarakat sipil kepada KIP

Kepada Yth,
Bapak Gede Narayana – Ketua Komisi Informasi Pusat
di-Tempat
Dengan Hormat,

Sehubungan dengan informasi yang kami peroleh dan juga dimuat di laman Komisi Informasi pusat (KIP) pada hari selasa (26/10/21), KIP menyelenggarakan Penganugerahan Keterbukaan Informasi Badan Publik (BP) Tahun 2021. Dalam acara tersebut terdapat sejumlah badan publik yang mendapatkan penganugerahan klasifikasi informatif. Salah satu dari badan publik tersebut adalah Kementerian ATR/BPN. Kami sebagai koalisi masyarakat sipil yang konsen akan keterbukaan informasi publik terutama dalam hal keterbukaan informasi HGU di Kementerian ATR/BPN sangat menyayangkan kejadian ini, apalagi ini dilakukan oleh KIP yang seharusnya juga mengetahui seberapa sering Kementerian ATR/BPN dilaporkan masyarakat/publik karena ketertutupannya.

Tentunya KIP juga perlu menjelaskan hal ini kepada publik, penilaian seperti apa yang telah dilakukan sehingga Kementerian ATR/BPN bisa memperoleh predikat badan publik yang informatif? Karena pengalaman kami tidak berkata demikian. Sudah berapa banyak surat kami masuk dan tidak ditanggapi? Sudah berapa kali badan publik tersebut berkasus hingga berujung sengketa ke KIP bahkan Mahkamah Agung (MA)? Apakah itu karena pelayanan informasi mereka yang baik? Tentu jawabannya adalah tidak.

Berdasarkan data Ombudsman Republik Indonesia sejak 3 tahun terakhir, menunjukan bahwa secara nasional substansi pertanahan
tidak pernah absen menempati posisi puncak sebagai substansi yang paling sering dilaporkan masyarakat. Fakta ini sejalan dengan
(Tjiptono, 2020), yang mengatakan bahwa pelayanan yang berkualitas akan memberikan kepuasan kepada pengguna layanan,
sedangkan kualitas pelayanan yang rendah dapat menyebabkan banyaknya keluhan dari pengguna layanan.
Kami masih ingat betul bagaimana ketidakadilan dan ketertutupan informasi Kementerian ATR/BPN ini menyebabkan banyak sekali
sengketa di seluruh pelosok negeri. Jika bapak sebagai ketua komisioner KIP melihat data lagi kebelakang, pastilah juga
menemukan bahwa dalam rentang tahun 2010-2015, sengketa informasi paling banyak terjadi pada badan publik sektor Sumber
Daya Alam (SDA) sebesar 29 persen yang 30% nya disumbangkan oleh Kementerian ATR/BPN. Pada periode yang sama Ombudsman
Republik Indonesia (ORI) juga mengemukakan bahwa secara berturut-turut Kementerian ATR/BPN masuk sebagai lima besar
instansi terlapor yang banyak diadukan masyarakat, terkait penyelenggaraan pelayanan publik. Bagaimana dengan kondisi saat
ini? Berdasarkan data Ombudsman tahun 2021, Kementerian ATR/BPN masih menempati urutan nomor 2 sebagai instansi
pemerintah/kementerian paling sering mendapatkan pengaduan dari masyarakat. Sudah buruk dalam memberikan pelayanan informasi, banyak disengketakan oleh publik, pun setelah keluar putusan sengketa tidak juga dijalankan oleh Kementerian ATR/BPN. Salah satunya tentu keputusan MA 121 K/TUN/2017 yang melibatkan Kementerian ATR/BPN dan Forest Watch Indonesia (FWI).
Empat tahun pasca adanya putusan MA tersebut Kementerian ATR/BPN masih saja tidak mau membuka informasi HGU yang menjadi pokok sengketa. Padahal, LAHP (Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan) ORI juga menyimpulkan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dan memerintahkan untuk segera memberikan dokumen HGU ke pemohon. Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Kementerian ATR/BPN atas putusan MA diatas juga sudah ditolak melalui Putusan PK 61 PK/TUN/KI/2020. Bahkan pada kasus sengketa informasi HGU antar ATR/BPN dengan Greenpeace Indonesia ATR/BPN sudah diperingatkan oleh PTUN Jakarta untuk melaksanakan Putusan dikarenakan upaya hukum yang dilakukan ATR/BPN mengajukan kasasi tidak diterima.

Desakan untuk membuka data HGU telah sejak lama dilakukan oleh masyarakat sipil. HGU merupakan salah satu informasi bersifat publik yang harus bisa diakses semua orang. Hal ini salah satunya mengacu putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang memenangkan gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) dalam perkara Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tanggal 22 Juli 2016 yang diperkuat dengan putusan Nomor 121 K/TUN/2017 tertanggal 6 Maret 2017. Putusan tersebut memerintahkan Menteri ATR/BPN membuka data HGU yang masih berlaku hingga tahun 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara baik informasi nama pemegang HGU, tempat/lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditi, peta area HGU yang dilengkapi titik koordinat.

Namun, sampai sekarang tidak pernah diberikan. FWI mencatat dari rentang tahun 2013-2019, Kementerian ATR/BPN sudah 13 kali diadukan oleh kelompok masyarakat sipil maupun perorangan untuk kasus sengketa informasi terkait dokumen HGU. Mulai dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua.
Putusan Komisi Informasi Papua Nomor : 004/III/KI-Papua-PS-A/2018 juga menyatakan informasi yang dimohonkan LBH Papua terkait dokumen HGU 31 perusahaan perkebunan sawit di Papua sampai 2016-2017 bersifat terbuka, dan yang terakhir sengketa informasi HGU antara Greenpeace Indonesia dan Kementerian ATR/BPN yang oleh PTUN diperintahkan memberikan list pemilik HGU di Papua dan Papua Barat beserta Peta lengkap dengan koordinatnya.

Upaya menghalang-halangi informasi terhadap HGU yang sudah dinyatakan oleh KIP sebagai informasi terbuka dilakukan secara
sistematis yang ditunjukan dengan terbitnya Peraturan Menteri ATR/BPN No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha. Permen ini menyatakan hanya pihak yang berkepentingan saja yang berhak mengetahui data fisik dan data yuridis tanah hak guna usaha. Atas tindakan menghalangi akses informasi HGU tersebut, pada tahun 2019 kami telah melaporkan Kementerian ATR/BPN dengan tindak pidana menghalang-halangi informasi Publik Pasal 54 ayat (1) UU KIP. Namun segara upaya tidak diindahkan oleh Kementerian ATR/BPN. Tindakanyang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN secara terang
benderang melakukan upaya pengangkangan dan pengingkaran terhadap Pasal 11 nomor 2, Undang-undang Nomor 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik sehingga tidak patut dan tidak layak untuk mendapatkan Anugrah sebagai Badan Publik yang Informatif oleh Komisi Informasi. Dengan berbagai persoalan diatas, kami meminta kepada Komisi Informasi Pusat untuk mencabut keputusan pemberian anugerah kepada Kementerian ATR/BPN tersebut. Hal ini karena pemberian anugerah kepada instansi yang punya banyak masalah ini akan memberikan citra buruk sendiri bagi KIP dan tentunya menodai serta mencederai semangat keterbukaan informasi yang sudah dibangun dengan susah payah.

Demikian Surat Terbuka ini kami sampaikan dan kami berharap KIP dapat bertindak serta memutuskan secara bijaksana untuk memenuhi permohonan kami tersebut.

Terima kasih.
Forest Watch Indonesia |
Greenpeace Indonesia |
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) |
Sawit Watch |
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) |
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) |
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat |
Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) |
Sajogyo Institute |
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) |
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat Sumatera Utara (BAKUMSU) |
Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) |
WALHI |
ICEL |
Kaoem Telapak

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment