Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Strategi Percepatan Hutan Adat bersama dengan pihak-pihak yang aktif membantu dan memperjuangkan tercapainya hutan adat bagi masyarakat hukum adat, pada Rabu (20/9/2017) di Hotel Ibis Slipi, Jakarta.
Pertemuan tersebut merupakan tindaklanjuti dari pertemuan awal antara Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan bersama dengan Koalisi Percepatan hutan Adat di Ruang Kerja Dirjen PSKL pada tanggal 4 September 2017, berkaitan dengan Inventarisasi Potensi Hutan Adat, pelaksanaan Focus Group Discussion lanjutan, dan startegi percepatan hutan adat.
Penetapan hutan adat sangat dinanti oleh masyarakat hukum adat di Indonesia. Keberadaan Masyarakat Hukum adat sejatinya sudah ada jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan masyarakat hukum adat. Pada
umumnya komunitas-komunitas masyarakat hukum adat memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan secara harmonis. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia terutama masyarakat hukum adat masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.
Masyarakat Hukum Adat sesungguhnya menghendaki adanya kepastian hukum dalam melindungi dan mengelola kawasan/areal sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu pemerintah harus melakukan pembangunan dan pemberdayaan pada masyarakat hukum adat. Hal ini merupakan amanah dari Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 kemudian hadir dan menyegarkan kembali arah kebijakan hutan adat .
Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti dengan lahirnya Permen LHK no. P.32/Menlhk- Setjen/2015 Tentang Hutan Hak, Perdirjen No. P.1/PSKL/Set/Kum.1/2/2016 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak dan Permen P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup.
Berdasarkan data hingga bulan Agustus 2017, hutan adat yang telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di 10 lokasi hutan adat berjumlah 8.746, 49 Hektar, sementara pencadangan hutan adat berjumlah 5.172 Hektar. Sehingga apabila dikalkulasi secara total, akses kelola hutan adat yang telah diberikan kepada masyarakat hukum adat baru berjumlah 13.918,49 Hektar. Capaian ini juga mewujudkan akses kelola bagi sejumlah 5.251 Kepala Keluarga (KK) pada 10 hutan adat yang telah ditetapkan.
Secara lebih rinci, 10 hutan adat yang telah ditetapkan tersebut hanya mencakup beberapa Kabupaten saja, diantaranya; Bulukumba (1 Hutan Adat), Kerinci (4 Hutan Adat), Merangin (1 Hutan Adat), Morowali Utara (1 Hutan Adat), Lebak (1 Hutan Adat), Sekadau (1 Hutan Adat), dan Sigi (1 Hutan Adat). Sementara untuk pencadangan hutan adat hanya di Kabupaten Humbang Hasundutan, provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan data diatas, terlihat beberapa kendala dalam langkah menuju pengakuan hutan adat, diantaranya adalah Produk Hukum Daerah baik melalui Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah dan Surat Kepala Daerah. Kendala ini perlu disikapi dengan membangun langkah sistematis lainnya sebagai jalur lain menuju penetapan hutan adat namun tidak menghilangkan hak masyarakat hukum adat untuk mendapatkan akses kelola hutan adat di kemudian hari.
Komitmen pemerintah kembali diuji dengan pernyataan Presiden RI dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia bahwa ”Pemerintah juga sedang menjalankan redistribusi aset tanah untuk masyarakat dan sudah memberikan 707 ribu hektar kawasan hutan kepada masyarakat adat untuk dikelola secara produktif. Selain itu juga sedang dijalankan Program Perhutanan Sosial sehingga rakyat di lapisan 40 persen terbawah mendapatkan akses
untuk memanfaatkan hutan bagi kesejahteraan mereka.”
Kendala – kendala dalam percepatan pengakuan hutan adat dengan kurang tersedianya produk hukum daerah dan Peraturan Daerah sebagai dasar utama penetapan hutan adat ini perlu disikapi dengan merancang strategi lain untuk dapat tetap memberikan akses kelola kepada masyarakat hukum adat. Berdasarkan pengalaman di Filipina sebelum diterbitkan Certificate Ancestral Domain (CAD) dapat diberikan pengakuan social forestry. Hal ini kemungkinan bisa diadopsi dalam kebijakan regulasi sektor kehutanan di Negara Republik Indonesia.
Dengan berbagai aturan kebijakan yang ada dan dukungan Pemerintah Daerah, pengakuan dan penetapan hutan adat ini bisa dicapai dan membutuhkan komitmen serta strategi bersama dari berbagai pihak. Saat ini beberapa organisasi non pemerintah telah berupaya untuk memfasilitasi masyarakat hukum adat guna mendapat pengakuan akan hutan adatnya.
Tujuan dari FGD hari ini antara lain: (1) Inventarisasi Data Potensi Hutan Adat; (2) Menyampaikan proses dan mekanisme lain sebelum pemberian akses kelola hutan adat; dan (3) Menyusun strategi percepatan hutan adat.
Sementara output yang diharapkan dari Kegiatan Rapat Percepatan Hutan Adat ini adalah:
(1.) Terkumpulnya data potensi hutan adat; (2) Terkomunikasikan dan tersosialisasikannya proses dan mekanisme lain dalam pemberian akses kelola sebelum hutan adat namun tidak menghilangkan hak kelola masyarakat hukum adat, dan
(3) Tersusunnya strategi percepatan hutan adat.
Add Comment