Bogor, 27 Agustus 2025 – Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyelenggarakan diskusi nasional bertajuk “Menegaskan Hak, Mengukuhkan Ruang Hidup: Praktik Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat”. Kegiatan ini mempertemukan perwakilan 12 komunitas adat dari berbagai wilayah Indonesia dengan kementerian terkait, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Forum tersebut dihadirkan untuk mengulas peran pemetaan partisipatif dalam perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat serta integrasinya dalam kebijakan negara.
Dalam sambutan pembukaan, Koordinator Nasional JKPP, Imam Hanafi, menegaskan bahwa sejak tahun 1990-an JKPP konsisten mengembangkan metode pemetaan partisipatif bersama masyarakat adat. Hingga saat ini, lebih dari 20,6 juta hektar wilayah adat telah dipetakan. Menurutnya, peta yang dihasilkan bukan semata produk teknis, melainkan instrumen politik untuk menegaskan keberadaan masyarakat adat di tengah dominasi klaim negara atas ruang. Ia menekankan bahwa peta partisipatif seharusnya menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang, mengingat masyarakat adat memiliki aturan, lembaga, serta praktik pengelolaan yang telah berlangsung turun-temurun.
Dalam forum tersebut, perwakilan komunitas adat menyampaikan beragam pengalaman dan persoalan ruang. Dari Kabupaten Lebak, Banten, komunitas Kasepuhan Jamrut dan Bongkok menuturkan bagaimana wilayah adat mereka tumpang tindih dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Perhutani. Perwakilan Jamrut menegaskan bahwa sejak dulu masyarakat memahami batas wilayah adat berbatasan dengan wilayah adat lain, bukan dengan desa administratif. “Kami ada sebelum negara ada, tetapi ruang kami diklaim sebagai kawasan hutan,” ujarnya, menekankan bahwa peta partisipatif penting untuk memperlihatkan keberlanjutan penguasaan adat.
Suara serupa datang dari Bali, di mana empat komunitas adat di Kabupaten Buleleng, Bali – Pemuteran, Sumberklampok, Sumberkima, dan Pejarakan – menghadapi problematika dualisme desa adat dan desa dinas. Selain itu, tanah timbul dan lahan eks-HGU yang selama ini dikelola masyarakat dialihkan kepada Bank Tanah tanpa melibatkan desa adat. Perwakilan komunitas menegaskan perlunya mekanisme yang jelas dalam pengakuan wilayah adat pesisir, karena masyarakat setempat selama ini mengelola laut sebagai sumber penghidupan dan ruang budaya.
Dari Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, komunitas adat To Pekurehua menyampaikan kasus kriminalisasi terhadap warga akibat menolak klaim Bank Tanah. Wilayah adat mereka seluas 29.000 hektar bertumpang tindih dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan izin HGU perusahaan. “Tanah kami dipatok sepihak oleh Bank Tanah, padahal kami kuasai sejak sebelum Indonesia ada,” ujar perwakilan komunitas dengan tegas.
Di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, komunitas adat Saumanuk mengungkapkan bahwa 82% daratan Mentawai telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Hal ini membuat ruang hidup mereka sangat terbatas. Mereka menolak klaim tersebut dan menuntut percepatan pengesahan Perda pengakuan masyarakat adat yang hingga kini belum juga disahkan. Persoalan serupa dialami komunitas adat Masapi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, di mana sekitar 70% wilayah adat mereka masuk kawasan hutan sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumber penghidupan. Sementara itu, komunitas adat Latuppa di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, menghadapi tumpang tindih antara wilayah adat seluas 3.477 hektar dengan hutan lindung. Situasi ini membuat masyarakat kesulitan mengembangkan pertanian yang selama ini menjadi basis ekonomi keluarga.
Paparan dari berbagai komunitas ini kemudian ditanggapi oleh perwakilan kementerian. Direktorat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menekankan bahwa izin pemanfaatan di pulau kecil harus dilakukan secara selektif dengan mengacu pada peraturan yang ada. KKP mendorong masyarakat untuk mengurus izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) agar memperoleh kepastian hukum atas wilayah laut. Perwakilan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyoroti status eks-HGU di Kabupaten Buleleng, yang menurutnya seharusnya dapat dikelola oleh desa adat. Namun, sebagian besar dialihkan kepada Bank Tanah. ATR/BPN meminta agar masyarakat melaporkan secara resmi agar dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur.
Sementara itu, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengakui bahwa penetapan kawasan hutan di masa lalu seringkali mengabaikan keberadaan masyarakat adat. Kemenhut menegaskan bahwa hutan adat merupakan bentuk resolusi konflik tertinggi. Namun, pengajuan pengakuan masyarakat adat harus tetap melalui pemerintah daerah sesuai mekanisme regulasi yang berlaku. Perwakilan Kemenhut juga mengingatkan bahwa pengukuhan kawasan hutan masih menjadi proses yang problematis karena berangkat dari asumsi kawasan kosong, tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang telah tinggal secara turun-temurun.
Dari pihak JKPP, Imam Hanafi menambahkan bahwa hingga kini belum ada walidata nasional yang dapat menampung dan mengintegrasikan peta partisipatif masyarakat. Akibatnya, peta yang sudah diproduksi berhenti di tingkat daerah dan tidak memiliki kekuatan di tingkat kebijakan nasional. Ia menegaskan pentingnya forum dialog semacam ini untuk memastikan data yang dihasilkan komunitas sah tidak hanya secara teknis, tetapi juga sah secara sosial.
Diskusi kemudian ditutup oleh moderator Dewi Sutejo yang merangkum sejumlah poin penting. Ia menegaskan bahwa komunitas adat di berbagai daerah menghadapi masalah serupa, diantaranya tumpang tindih ruang dengan klaim negara maupun sektor swasta, lemahnya implementasi kebijakan daerah, serta lambatnya proses pengakuan masyarakat adat. Pemetaan partisipatif terbukti menjadi instrumen penting untuk menegaskan eksistensi masyarakat adat, sekaligus membuka ruang dialog dengan pemerintah.
Kesimpulan utama dari forum ini adalah perlunya percepatan pengakuan masyarakat adat, integrasi hasil pemetaan partisipatif ke dalam kebijakan tata ruang, dan perlindungan terhadap komunitas dari praktik kriminalisasi. Para peserta sepakat bahwa tanpa perlindungan hak masyarakat adat, keadilan agraria dan keberlanjutan lingkungan akan sulit dicapai. Forum ini akhirnya menjadi momentum penting dalam menghubungkan pengalaman komunitas adat dengan proses kebijakan negara, serta mendorong pengakuan peta partisipatif sebagai dasar dalam penyusunan tata ruang dan kebijakan pembangunan.
– Risdawati Ahmad


