Pemetaan Partisipatif

Kemenhut Dituding Tak Serius Kelola Hutan

SAMOSIR – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dinilai tidak serius mengelola hutan. Sejauh ini, pengelolaan hutan dari tahun ke tahun belum menunjukkan arah perbaikan. Banyak hutan adat masuk dalam konsesi bisnis perusahaan besar.

Koordinator Nasional Jaringan Kerja pemetaan Partisipaif (JKPP) Kasmita Widodo mengatakan, ketidakseriusan Kemenhut itu bisa dilihat dari kasus di Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Riau. Di saat, proses pemetaan tanah pemetaan belum selesai, Kemenhut tiba-tiba mengeluarkan izin baru.

“Sebenarnya Kementerian Kehutanan tidak serius dalam pengelolaan hutan yang lebih baik.” katanya dalam pertemuan global tentang partisipasi masyarakat dalam pemetaan teritorial masyarakat adat di Samosir, Sumatera Utara, Minggu (25/8).

Acara tersebut diikuti 11 negara, setelah 10 tahun vakum. Penyelenggara pertemuan dunia yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat nusantara (AMAN) atas kerja sama dengan Tebtebba. Tebtebba merupakan pusat studi internasional Masyarakat Adat yang meneliti kebijakan dan pendidikan.

Pertemuan ini diikuti Filipina, Vietnam, Malaysia, Suriname, Selandia Baru, Brasil, Panama, Meksiko, Kolombia, Nikaragua, dan tuan rumah Indonesia, diikuti juga oleh perwakilan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Menurut Kasmita, dari sekitar 40 juta hektare hutan adat di seluruh Indonesia, AMAN mengklaim sudah 7 juta ha yang sudah selesai dilakukan pemetaan. Adapun JKPP mengaku bahwa lembaganya baru menyelesaikan pemetaan 3,9 ha.

Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, mengungkapkan, keterlibatan Indonesia sebagai tuan rumah merupakan kelanjutan hasil keputusan Makamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

“Keputusan MK mengubah puluhan juta hektare hutan adat, yang sebelumnya diklaim sebagai hutan negara, dan dengan keputusan MK menjadi diakui sebagai milik masyarakat adat,“ kata Abdon.

Negara Lain

Persoalan hutan adat di Indonesia juga dihadapi oleh masyarakat adat di berbagai negara. Mereka selalu berhadapan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan yang memiliki usaha di bidang kehutanan.

Perwakilan Brasil, Florece Daniel mengungkapkan, masyarakat adat Brasil juga menghadapi persoalan seperti yang dialami Indonesia. Hutan Amazon yang sangat luas diambil pengusaha lokal maupun perusahaan asing.

“Mereka datang kepada pemerintah dan membuka hutan untuk digunakan sebagai perkebunan dan lain sebagainya. Dengan kejadian ini, masyarakat adat menjadi tersingkir dan miskin. Sementara dengan kekuatan pemerintah menyebabkan masyarakat adat kehilangan kekuatan,” katanya.

Victoria Tauli-Corpuz yang mewakili Tetteba menjelaskan, acara global ini akan memberikan manfaat bagi solidaritas masyarakat di dunia supaya menguatkan perjuangan masyarakat adat.

“Pertemuan ini adalah forum berbagi untuk saling belajar dari berbagai negara yang tergabung. Saat ini masyarakat adat yang sudah tergabung ke dalam jaringan sudah ada 13 negara,” katanya.

Dalam pertemuan yang berlangsung pada 25-28 Agustus 2013 ini juga menyinggung persoalan masyarakat adat di Pardumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasudutan yang hidup dari hutan kemenyan, dan hutan adatnya saat ini masuk dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) guna menyediakan bahan baku bubur kertas, milik pengusaha Sukanto Tanoto.

Dalam berbagai konflik hutan adat di Indonesia, Mahir Takaka mengungkapkan, sejak Indonesia merdeka selama 68 tahun, masyarakat adat terus tersinkir di Indonesia. “Kementerian Kehutanan sampai saat ini masih serius dan sibuk mengurus persoalan bisnis kehutanan daripada mengurus persolan masyarakat yang saat ini membutuhkan pemetaan dan pengakuan secara serius,” katanya.

Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/23902/kemenhut-dituding-tak-serius-kelola-hutan