Pemetaan Partisipatif

Konflik Lahan di Konsesi HTI, APHI Cari Model Penyelesaian

Warga Desa Petebang Jaya sedang mengisi waktu luang usai menoreh karet. Berkat izin pemerintah, desa ini masuk dalam konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Wana Hijau Pesaguan. Foto: Andi Fachrizal

Konflik tenurial di hutan tanaman industri (HTI) banyak terjadi karena konsesi tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat.  Untuk itu, perlu ada skema terbaik yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) coba mencari model penyelesaian konflik, salah satu lewat buku bertajuk Resolusi Konflik Lahan: Pembelajaran dari Hutan Tanaman Industri. Buku ini berisi pengalaman menyelesaikan konflik di tiga perusahaan HTI, yakni, PT Arangan Hutan Lestari,  PT Finnantara Intiga dan PT Inhutani V Lampung.

“Buku ini kami tulis hampir setahun. Kami mencari informasi cukup beralasan dan punya pertimbangan tertentu di lapangan karena ini konteksnya pembelajaran. Ini akan menjadi dasar  dan strategi APHI lima tahun ke depan. Bagaimana anggota berinovasi dan bekolaborasi dengan masyarakat,” kata Bambang Widyantoro,  Ketua bidang Sosial dan Lingkungan APHI di Jakarta, dalam peluncuran buku, Juni lalu.

Pengusaha HTI, katanya, perlu berkolaborasi dengan masyarakat sekitar dalam menyelesaikan konflik, termasuk menciptakan produk inovasi baru, peluang dan diversifikasi usaha.

Bambang juga penulis buku memaparkan strategi penyelesaian konflik tenurial.  Dia membagi beberapa tahapan dalam resolusi konflik.  Pertama,  pemetaan konflik partisipatif melalui dialog antara perusahaan dan masyarakat serta pengumpulan data.  Kedua, pengakuan terhadap kawasan hutan.  Ketiga, penyusunan alternatif pola resolusi konflik.

“Model kemitraan perlu mendapat prioritas dalam penyelesaian konflik lahan konsesi. Ini mungkin yang terbaik. Kemitraan perlu dibuat rambu-rambu untuk mengendalikan kegiatan masyarakat di areal agar sesuai peraturan, “katanya.

Sebisa mungkin, katanya, resolusi konflik melalui legal formal dihindari tetapi mengedepankan kemitraan menguntungkan kedua pihak.

Keempat,  sosialisasi. Kelima,  verifikasi.  Keenam,  negosiasi.  Ketujuh, penandatanganan perjanjian kerjasama.  Kedelapan,  implementasi perjanjian kerjasama. Kesembilan,  monitoring serta evaluasi.

“Intinya inovasi diharapkan, bagaimana meningkatkan nilai hutan, baik manfaat maupun keuntungan lebih baik. Kehutanan selalu dipojokkan tak berikan kontribusi besar atau menyengsarakan masyarakat sekitar, paradigma ini harus diubah.”

Wakil Ketua APHI Rahardjo Benyamin mengatakan, konflik sering terjadi  katena ada perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan masyarakat atau antarpelaku usaha.  Jadi, perlu dialog lintas sektoral dalam mencari solusi terbaik menyelesaikan konflik.

Konflik sosial, katanya, menjadi isu nasional hingga penanganan harus bersama-sama. Tak hanya oleh pemerintah, juga pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, sampai tokoh masyarakat (adat).

“Masih banyak konflik sosial belum selesai baik.  Berdampak operasional pemegang izin banyak terganggu, katanya.

Bahkan,  tak jarang karena konflik sosial berkepanjangan menyebabkan banyak perusahaan pemegang izin harus menghentikan operasional,  mengembalikan areal kepada pemerintah, tak diperpanjang,  atau izin dicabut.

“Jika begini, tak ada yang diuntungkan.  Areal tak bertuan bisa menjadi obyek perambahan, menyebabkan kebakaran.”

Sebenarnya, kata Rahardjo, pemerintah dan pemegang izin sudah berupaya menyelesaikan konflik. Sudah ada beberapa peraturan pemerintah keluar, seperti Permenhut pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan, Perdirjen PHPL tentang pedoman pemetaan potensi dan resolusi konflik pemegang IUPHHK.  Namun upaya-upaya ini, belum sepenuhnya menyelesaikan konflik. Kedua aturan belum menjadi obat mujarab. Kehadiran negara sangat digantikan pelaku usaha.  Jadi, APHI merasa perlu menyiapkan anggota agar paham dan mampu menghadapi konflik.

Dewi Rizki, Direktur Program of Sustainable Development Governance Kemitraan mengatakan,  dalam banyak konflik tenurial,  tak jarang menimbulkan pertumpahan darah.

Data BPS dan Kementerian Kehutanan 2009, ada 32.000-an desa di kawasan hutan. HuMa mencatat, terjadi 232 konflik di 22 provinsi dan 98 kabupaten, luasan lebih dari 2 juta hektar dan korban 91,958 orang. Sebagian besar konflik, 85% di perkebunan, kehutanan 10%.

Perlu mediator

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Susetiawan mengatakan, dari sekian banyak areal berizin, lebih 50% ada konflik. Untuk itu, harus dihadapi dengan inovatif misal, membuat new pattern of social relationship yang terinstitusionalisasi. Dinamikanya,  bisa bermacam-macam di satu tempat dengan tempat lain.

Perbedaan kepentingan, katanya, menimbulkan konflik. Tinggal bagaimana mengakomodasi semua kepentingan itu.

“Biasanya kalau orang Indonesia, ngomong harmoni selalu didefinisikan sebagai situasi tanpa konflik. Padahal, harmoni lahir dari konflik. Resolusi itu cara mewujudkan harmonisasi.”

Direktur Jenderal Pehutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto mengatakan, petugas mediasi konflik perlu mendapat ilmu soal ini. Pendidikan atau pelatihan perlu. Sejak dua tahun terakhir, katanya, ada 55 orang dididik menjadi mediator.  Pelatihan oleh KLHK dan sertifikasi Mahkamah Agung.

“Harus melatih orang untuk mediasi.  Ada sekolahnya.  Intinya mendengar,  dialog.  Ini saya meminta bantuan UNDP.  Akan diadakan pelatihan hingga provinsi.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/07/20/konflik-lahan-di-konsesi-hti-aphi-cari-model-penyelesaian/