Bogor, 26 Agustus 2025 – Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama aliansi masyarakat sipil Sulawesi Tenggara menggelar diseminasi kajian bertajuk Monitoring Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kegiatan yang berlangsung di Bogor ini mempertemukan perwakilan kementerian, lembaga riset, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil untuk membedah proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dinilai sarat kepentingan investasi dan minim ruang partisipasi publik.

Dalam sesi pembukaan, Koordinator Nasional JKPP, Imam Hanafi, menjelaskan bahwa pemetaan partisipatif yang dilakukan bersama masyarakat adat dan lokal bertujuan menghadirkan data valid dan relevan dari situasi lapangan. Namun, dalam perjalanannya, JKPP menemukan banyak ketidaksesuaian antara tata ruang yang dijalankan pemerintah dengan realitas ruang masyarakat. Ia menekankan bahwa pasca diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), tata kelola ruang semakin bergeser ke arah investasi, terutama karena Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) kini menjadi dasar utama penerbitan izin.

Kajian utama disampaikan oleh Imam Mas’ud dari JKPP, yang menjelaskan bahwa inisiatif ini lahir dari kegelisahan jaringan masyarakat sipil di Sulawesi Tenggara – antara lain TERAS, Komdes, Walhi Sultra, Puspaham, dan Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara. Revisi RTRW dianggap sebagai momentum penting untuk meninjau kembali praktik penguasaan sumber daya alam, memperkuat perlindungan ekologis, serta mengkritisi hilangnya hak masyarakat atas ruang. Kajian ini menggunakan pendekatan yang menekankan ruang sebagai ruang hidup yang terintegrasi darat, laut, dan udara; partisipasi bermakna; perlindungan hak asasi manusia; peningkatan kesejahteraan masyarakat; keberlanjutan ekologi; serta pengakuan terhadap wilayah adat dan lokal.

Beberapa temuan penting dipaparkan. Pertama, deforestasi di Sulawesi Tenggara selama 2017 – 2023 mencapai 233.000 hektar, terutama di Konawe Utara, yang berakibat pada meningkatnya lahan kritis dan risiko banjir. Kedua, terjadi pergeseran pekerjaan masyarakat dari petani dan nelayan ke sektor tambang, menyebabkan menurunnya kesejahteraan dan meningkatnya ketergantungan ekonomi pada tambang. Ketiga, sektor perikanan rakyat melemah dengan berkurangnya kapal nelayan kecil di bawah 5 GT. Selain itu, kajian menyoroti dinamika pasca UUCK, di mana KKPR menggantikan izin lokasi dan mendorong orientasi tata ruang lebih pada investasi. Konsep Satu Peta yang mengintegrasikan RTRW darat dan laut belum mengakomodasi wilayah kelola masyarakat adat, meski perda sebelumnya mengakui empat wilayah kelola. Temuan lain mencatat potensi konflik akibat peta masyarakat adat yang tidak tercantum dalam dokumen RTRW, sehingga berpotensi tumpang tindih dengan kawasan hutan, HGU, dan izin tambang. Bahkan, kawasan karst dan pegunungan penting sebagai penyangga hidrologi ikut terancam oleh izin pertambangan.

Kajian ini juga menampilkan studi kasus di Blok Mandiodo dan Pulau Wawonii. Di Mandiodo, seluruh desa masuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tumpang tindih dengan kawasan lindung dan budidaya (pemukiman, lahan pertanian, dan perikanan). Pelanggaran tata ruang nyata terlihat ketika izin tambang masuk hingga ke badan air, konservasi, dan pemukiman masyarakat. Di Wawonii, izin pertambangan bahkan masuk ke pulau kecil yang menurut UU seharusnya dilindungi. Dampaknya, abrasi, kerusakan mangrove, dan ancaman terhadap nelayan kecil kian meningkat.

Dari hasil kajian, JKPP merekomendasikan agar RTRW menggunakan pendekatan partisipatif, HAM, perlindungan masyarakat adat, serta keadilan ekologis. Transparansi data dan partisipasi publik menjadi syarat utama, selain perlunya pengakuan data geospasial partisipatif. Aliansi juga menekankan perlunya evaluasi aktivitas tambang dan perkebunan monokultur, serta penguatan forum tata ruang provinsi yang selama ini tertutup.

Sejumlah tanggapan hadir dari perwakilan kementerian dan akademisi. Perwakilan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyampaikan bahwa integrasi data pertanahan dan tata ruang masih menjadi tantangan, terutama karena regulasi terpisah. Ia menekankan pentingnya partisipasi masyarakat agar peta hasil pemetaan bersama bisa digunakan secara resmi. Selanjutnya, Badan Informasi Geospasial (BIG) mengapresiasi keterlibatan JKPP dalam mengawal Kebijakan Satu Peta, di mana seluruh sektor, kementerian, dan lembaga menggunakan data peta yang sama untuk pengelolaan wilayah. BIG juga menegaskan bahwa peta adalah elemen mutlak dalam tata ruang dan kajian monitoring sebaiknya dilengkapi data spasial rencana, eksisting, serta prediksi perubahan ruang. Ia juga mendorong masyarakat sipil untuk aktif memanfaatkan data spasial sebagai kontrol pembangunan. Prof. Baba dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB menyoroti minimnya transparansi data dan lemahnya implementasi prinsip partisipasi masyarakat. Ia menekankan bahwa tata ruang seharusnya meningkatkan kesejahteraan dan melindungi masyarakat adat, bukan justru membatasi akses mereka terhadap lahan.

Tanggapan juga datang dari audiens aliansi masyarakat sipil. Didi dari Puspaham menyoroti dampak tambang di Mandiodo yang meningkatkan kemiskinan dan merusak ruang hidup. Imran Tumora dari TERAS menekankan masalah sertifikat tanah di kawasan hutan yang tak kunjung diselesaikan. Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara menambahkan bahwa perempuan di desa-desa tambang kehilangan lahan pertanian sehingga terjebak dalam kemiskinan struktural. Gian dari Walhi Sultra menyoroti banyaknya tambang tidak aktif yang meninggalkan “tanah mati” tanpa rencana pemulihan.

Menanggapi hal tersebut, Imam Mas’ud dari JKPP menegaskan bahwa pemetaan partisipatif melalui pendekatan Sustainability Land Use Planning (SLUP) telah menjadi instrumen penting untuk memonitor kebijakan tata ruang berbasis data masyarakat. Ia menekankan bahwa perencanaan tata ruang tidak boleh top-down, melainkan harus bottom-up karena masyarakatlah yang paling merasakan dampak perubahan ruang.

Diskusi yang dimoderatori Amir Mahmud kemudian ditutup dengan penekanan pada pentingnya sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan organisasi sipil. Penataan ruang bukan sekadar dokumen teknis, melainkan menyangkut hak dasar masyarakat atas ruang hidup. Oleh karena itu, forum tata ruang harus terbuka, partisipatif, dan berpihak pada keadilan sosial serta keberlanjutan ekologis. Kegiatan ini memperlihatkan bahwa revisi RTRW Sulawesi Tenggara bukan hanya soal teknis perencanaan, melainkan juga menyangkut arah pembangunan daerah, keberlangsungan ekologis, serta masa depan masyarakat lokal. Pesan utamanya jelas – tata ruang harus kembali pada fungsi dasarnya sebagai instrumen keadilan ruang, bukan sekadar memfasilitasi kepentingan investasi.