Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis data peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) revisi VIII dengan kenaikan wilayah moratorium seluas 926.030 hektar hingga total menjadi 65.015 juta hektar.
Dari data KLHK, kenaikan areal moratorium ini diperoleh dari beberapa hal, terbesar dari pembaruan data perizinan seluas 968.625 hektar, disusul pembaruan data tanah 91.056 hektar, dan perkembangan tata ruang 31.919 hektar. Sedangkan, pada hutan primer dan lahan gambut masih mengalami penurunan cukup besar. Untuk konfirmasi perizinan sebelum inpres dan tindak lanjut juga masih menjadi penyebab penurunan areal moratorium seluas 49.178 hektar. Juga lahan baku sawah menurunkan areal yang dilindungi kebijakan ini sekitar 314 hektar. Namun, dari total areal yang bertambah dan berkurang, masih mengalami peningkatan hampir satu juta hektar. (lihat tabel)
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, PIPPIB ini menjadi instrumen kontrol buat perizinan. Inpres Moratorium itu, katanya, berbunyi penyempurnaan pengelolaan kawasan, atau hutan primer dan gambut. Dalam prosesnya, lewat menahan izin-izin.
Kini, perjalanan tata kelola itu sudah memasuki revisi VIII dan mengalami penambahan areal seluas 926.030 ribu hektar.  “Ini sedang kerja keras buat penyempurnaan tata kelola manajemen hutan berkelanjutan,†katanya, Rabu (27/5/15) di Jakarta.
Bagaimana terjadi perubahan areal moratorium itu? Dirjen Planologi Kehutanan Bambang Soepijanto mengatakan, angka perubahan saat ini merupakan hasil pencitraan satelit dan survei kondisi fisik di lapangan.
“Pada saatnya nanti PIPPIB stabil. Tergantung dialog antara masyarakat dan pemerintah. Dialog itu berupa masukan tambah atau kurang. Kalau sudah tak ada in dan out lagi akan stabil.â€
Dia mencontohkan, revisi hutan alam primer itu dari Dinas Kehutanan provinsi, kabupaten, dan Perguruan Tinggi (Fakultas Kehutanan). Ia berbasis citra satelit resolusi tinggi sebagai informasi awal. Untuk revisi lahan gambut dari Kementerian Pertanian lewat penginderaan jarak jauh dengan SNI 7925:2013.
“Jadi, kalau ada laporan dari masyarakat, misal lahan yang masuk hutan primer ternyata di lapangan sudah kampung atau desa, laporkan saja. Nanti, tim dari dinas atau perguruan tinggi turun. Baru, dalam revisi selanjutnya dimasukkan.â€
Sama juga dengan hasil data dan informasi penutupan lahan terkini, katanya, itu merupakan hasil cek lapangan, dan data citra satelit resolusi tinggi. Begitu juga penambahan areal pada pembaruan data perizinan, kata Bambang, itu didapat dari pencabutan izin, pengurangan areal atau pembatalan surat izin prinsip. Serupa dengan angka tambahan dari data tata ruang. “Kala disurvei di daerah ternyata ada hutan primer atau gambut, ya di-blocking. Hasil revisi masuk PIPPIB,†ujar dia.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono, menambahkan, angka 900 an ribu hektar pada pembaruan data perizinan itu terkait beberapa izin yang oleh Dirjen BUK tak diperpanjang, sebagian besar HPH. Dia merinci,  ada pencabutan  tiga unit HPH, pengurangan areal, ada dua pembatalan SP1 (izin prinsip).
“Itu merupakan izin hutan alam,  yang tersisa kami block. Kemungkinan masih ada hutan primer. HPH kerja belum selesai karena kinerja jelek tak diperpanjang jadi masuk moratorium.â€
Arahkan buat masyarakat
Ditjen BUK, katanya, sedang merancang peta arahan pemanfaatan hutan produksi dan usaha pemanfaatan hutan. Peta ini, katanya, akan menjadi pegangan bagi kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota agar tahu pemanfaatan lahan atau lahan mana yang bisa diberi izin dan lain-lain. Nanti, katanya, peta arahan itu akan dimasukkan ke website KLHK.
Saat ini, kementerian melakukan analisis data dan informasi terlebih dahulu. Beberapa hal yang sedang dilakukan antara lain, pertama, analisis tumpang tindih peta kawasan hutan dengan sebaran HPH, peta rencana kerja tahunan nasional (RKTN), peta PIPPIB, peta tutupan lahan dan peta aksesibilitas seperti jalan dan sungai. Kedua, analisis peta kawasan hutan produksi terhadap areal izin pemanfataan, PIPPIB dan RKTN dan buffer terhadap areal pemukiman. Juga sinkronisasi terhadap proses perizinan yang masih berjalan dan usulan pemda.
Ketiga, analisis kriteria hutan produksi, baik menyangkut fungsi hutan (hutan produksi tetap atau hutan produksi), penutupan lahan, kelerengan dan aksesibilitas dan letak pemukiman atau desa.
“Ini sudah disiapkan konsep sejak 2015 dan dilakukan rapat koordinasi serta konsultasi publik. Hingga pegangan itu sudah lalui prosedur yang benar,†ujar Bambang.
Dia mengatakan, ada yang berbeda dari arahan pemanfaatan hutan dulu dan sekarang. Saat ini, katanya, pemanfaatan HP yang berada di sekitar masyarakat didorong buat masyarakat. Alokasi ini, katanya, sejalan dengan program kementerian menyiapkan lahan 12,7 juta hektar buat masyarakat. Selain hak kelola masyarakat, lahan buat restorasi ekosistempun akan meningkat. “Kalau, izin-izin buat usaha seperti HTI itu akan makin kecil.â€Â (lihat tabel)
Hal itu dibenarkan oleh Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kehutanan, KLHK. Menurut dia, meskipun tak masuk dalam pengecualian Inpres Moratorium, tetapi pemberian hak wilayah kelola kepada warga seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan adat, tak akan terganggu. Pemberian hak kelola rakyat, kata Hadi, tetap memungkinkan bagi mereka yang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. “Kalau hutan tanaman rakyat tak bisa karena memanfaatkan kayu, kalau HkM lihat dulu, hanya yang memanfaatkan non kayu.â€
Siti juga memperkuat itu. Menurut dia, kalau alokasi hutan adat di mana saja tak masalah, karena pada dasarnya masyarakat sudah ada di situ. “Tinggal bagaimana kita mengelola aja seperti apa. Prinsip-prinsip lindung harus dijaga. Kalau nanti pola kolaborasi, misal dibina masyarakat dengan baik, dipertegas dan sistematik komunitas di sana ada dalam bentuk apa.â€
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/05/27/areal-moratorium-bertambah-hampir-1-juta-hektar/