Rimanews – Belasan petani yang berkonflik dengan perusahan perkebunan besar dan pertambangan berunjukrasa di Simpang Lima Kota Bengkulu, Sabtu (10/10/2015). Para petani mendesak penuntasan perselisihan agraria yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Petani dari Kecamatan Lubuksandi Kabupaten Seluma, Osian dalam orasinya mengatakan, masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit di wilayah mereka cenderung tanpa penyelesaian.
“Bahkan kami diintimidasi dan dituduh mencuri buah sawit yang kami tanam sendiri,” katanya.
Aksi para petani dan sejumlah akvitis lingkungan itu juga digelar sebagai solidaritas terhadap Salim Kancil, aktivis antitambang yang dibunuh karena menolak tambang pasir ilegal di desanya.
Selain petani dari Kabupaten Seluma, aksi tersebut juga diikuti petani yang berkonflik dengan perusahaan tambang batu bara di Desa Margabakti Kabupaten Bengkulu Utara.
Manajer Advokasi Walhi Bengkulu, Sony Taurus mengatakan terdapat 20 titik rawan konflik agraria di Bengkulu yang meliputi pertambangan dan perkebunan.
“Perlu antisipasi dini agar tidak meluas dan menimbulkan konflik sosial dan kerusuhan bahkan kasus seperti yang dialami Salim Kancil,” katanya.
Ia mengatakan konflik ruang kelola tersebut mengancam kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup dari bertani.
Persoalan ini, menurut Sony, harus segera diselesaikan, terutama dari sisi regulasi sebab kebutuhan investasi yang didukung perundang-undangan yang berpihak pada penanaman modal.
Dampaknya, masa depan petani semakin suram sebab 80 persen area budi daya dikuasai sekitar puluhan perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Data Walhi yang diolah dari berbagai sumber menyebutkan bahwa lahan yang dikelola pemodal mencapai 463 ribu hektare yang terbagi atas kuasa pertambangan dan hak guna usaha (HGU).
Dari luas 1,9 juta hektare di wilayah Bengkulu, 900 ribu hektare merupakan kawasan hutan, sedangkan 463 ribu hektare dikuasai oleh perusahaan.
“Dengan penduduk 1,7 juta jiwa, artinya masyarakat Bengkulu hanya mengakses tanah kurang dari 0,8 hektare per kepala keluarga,” ucapnya.
Karena itu, menurut Sony pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam yang selama ini terbukti meminggirkan masyarakat dan petani.
Pemerintah kata dia harus mampu melindungi petani dari ancaman dan intimidasi korporasi, sehingga tidak ada lagi kasus seperti yang dialami Salim Kancil yang dibunuh dan Tosan yang dianiaya.
Setelah menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka, para petani dan aktivis membubarkan diri dengan tertib.
Sumber:Â http://nasional.rimanews.com/hukum/read/20151010/238914/Petani-Bengkulu-Desak-Penuntasan-Konflik-Agraria