Pengakuan negara terhadap hutan adat adalah salah satu bentuk implementasi dari mandat konstitusi yakni pengakuan dan penghormatan atas hak-hak tradisional masyarakat hukum adat [UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)]. Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang merupakan hasil judicial review atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, hutan adat bukan lagi hutan negara.
Pada konteks Sulawesi Tengah, upaya mendorong pencantuman hutan adat ini telah dimulai sejak Januari 2018, ketika pemerintah provinsi akan melakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulteng. Inisiasi ini terhambat karena tidak tersedianya regulasi teknis yang mengatur tentang hutan adat, baik nomenklaltur, simbol dan notifikasinya maupun posisinya dalam Pola Ruang. Hal inilah yang mendasari kami bersama jaringan (HuMa dan JKPP) memfasilitasi dialog antara staf bidang Penataan Ruang (Dinas BMPR Sulteng) dengan Kementerian LHK, Kementerian ATR dan BIG pada bulan Juli 2018.
Kejadian bencana gempa bumi 28 September 2018 dengan skala 7,4 M yang meyebabkan tsunami dan likuifaksi juga mempercepat proses pembahasan revisi RTRWP Sulteng tersebut. Hanya sayangnya, terjadi perubahan regulasi yang signifikan pasca terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja mempengaruhi pembahasan revisi RTRWP ini. Proses penyesuaian substansi RTRWP ini pastinya akan mengacu pada regulasi terkini, dimana juga sebagian kewenangan pemerintah sub nasional ditarik ke pemerintah pusat.
Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk mendorong hutan adat diintegrasikan dalam dokumen RTRWP mulai intensif dilakukan pada awal tahun 2023. Serangkaian aktivitas advokasi ini dimulai dari pengumpulan sekaligus analisis berbagai dokumen yang relavan seperti naskah akademik, batang tubuh Ranperda dan lampirannya. Bedah Ranperda dilakukan medio Maret dengan melibatkan Bidang Penataan Ruang – Dinas BMPR Provinsi dan selama bulan April Tim KARAMHA menyusun Kertas Kebijakan Urgensi Pencatuman Hutan Adat dalam RTRWP Sulteng. Kertas Kebijakan ini kemudian diserahkan ke Pimpinan DPRD dan Pansus RTRWP pada audiensi 22 Mei 2023.
Puncak perjuangan advokasi hutan adat ini kemudian mendapat keastianya ketika Rapat Paripurna DPRD Sulteng menetapkan Perda tentang RTRWP Sulawesi Tengah tahun 2023-2042, yang telah mengomodir keberadaan Hutan Adat sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) untuk kepentingan sosial-budaya.
Makna Pencantuman Hutan Adat sebagai KSP
Merujuk pasal 57 Perda RTRWP Sulteng ini, ada enam hutan adat yang telah dicantumkan dalam Kawasan Startegis Provinsi dengan total luasan 17.501 hektar. Lokasi hutan adat ini tersebar pada dua kabupaten, yakni satu lokasi di Kabupaten Morowali Utara (Wana Posangke) dan lima lokasi di Kabupaten Sigi (Marena, Masewo, Moa, Lindu dan Toro).
Pencantuman hutan adat sebagai KSP dalam RTRWP ini bermakna sangat mendasar bahwa DPRD bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat berserta hak-hak tradisionalnya (hutan adat). Pandangan dan sikap dari pengambil kebijakan ini selaras dengan amanah Konstitusi RI, dan patut diapresiasi oleh kalangan masyarakat sipil dan tentunya masyarakat adat di Sulawesi Tengah.
Makna lainnya, bahwa Sulawesi Tengah menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memposisikan hutan adat secara strategis dalam Kebijakan Penataan Ruangnya, dan dilegalisasi dalam kerangka hukum peraturan daerah level provinsi. Artinya ke depan, kolaborasi antara pemerintah daerah dan kalangan masyarat sipil akan menjadi rujukan bagi provinsi lainnya untuk belajar dan tukar pengalaman terkait proses advokasi hutan adat kedalam RTRWP.
Pertama; Bagaimana memastikan bahwa Perda ini dapat diimplementasikan secara operasional? Sehingga diperlukan regulasi turunan apakah Peraturan Gubernur atau kebijakan lainnya.
Kedua; bagaimana substansi Hutan Adat sebagai Kawasan Strategis Provinsi terinternalisasi dan dimasukan pada dokumen RTRW Kabupten/ Kota dan atau dokumen Rencana Detail Tata Ruang.
Ketiga; bagaimana memastikan bahwa masyarakat adat di Sulteng dapat diakui keberadaanya melalui kerangka hukum daerah – dalam bentuk PERDA Provinsi atau Kabupaten/ Kota.
PARTISIPAN KARAMHA :
- YMP Sulteng (Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah)
- SLPP Sulteng (Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sulawesi Tengah)
- BRWA Sulteng (Badan Registrasi Wilayah Adat Sulawesi Tengah)
- Pusbang Bahusiat – Universitas Tadulako
- Perkumpulan Bantaya
- WALHI Sulteng (Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah)
- AMAN Sulteng (Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Tengah)
- Perkumpulan HuMa Indonesia
- Yayasan Ekonesia
Sumber : rilis/siaran pers KARAMHA 15/6/2023
Add Comment